Publikasi
Opini

Bersikap Adil Pada Kesejahteraan Hakim
Perbaiki dulu kesejahteraan Hakim, lalu perkuat pengawasan. Hukuman berat baru tepat dijatuhkan setelahnya.
Hari Peringatan Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2023 lalu menggarisbawahi korupsi sebagai hambatan utama dalam pembangunan negara. Urgensi pemberantasan korupsi telah jelas. Salah satu upayanya yang krusial adalah menjaga integritas lembaga peradilan. Independensi dan integritas hakim harus dijaga dengan ketat.
Integritas lembaga peradilan merupakan pondasi penting dalam mewujudkan negara hukum. Kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan secara signifikan berpengaruh dalam setiap aspek kehidupan bernegara. Survei Indikator Politik atas kepercayaan Masyarakat terhadap lembaga pada April 2023 lalu menempatkan Pengadilan di peringkat keempat. Tercatat angka 77,8% masyarakat sangat percaya. Pengadilan meraih dua peringkat lebih tinggi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hakim adalah aktor sentral pada lembaga peradilan. Mereka penentu akhir suatu perkara. Kondisi ini membuat pekerjaan Hakim memiliki risiko sangat tinggi yang mengancam integritasnya. Intervensi finansial dari pihak berperkara merupakan hal yang biasa dihadapi Hakim dalam keseharian menjatuhkan putusan. Risiko ini ditambah dengan kondisi penempatan Hakim yang bersifat nasional. Hakim harus selalu berpindah dalam kurun waktu tertentu hingga pensiun. Penempatan yang jauh dari domisili menimbulkan beban keuangan signifikan bagi Hakim.
Beban itu semakin besar bagi Hakim yang ditempatkan di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal. Beban finansial begitu besar disertai dengan besarnya kewenangan Hakim menghasilkan tingginya risiko cacat integritas Hakim. Negara perlu berupaya maksimal dalam mencegahnya agar tidak terjadi.
Salah satu hal penting yang perlu dilakukan negara dalam upaya mitigasi tersebut adalah pemenuhan kesejahteraan finansial Hakim. Hal ini karena upaya intervensi finansial paling sering dialami Hakim dalam menjatuhkan putusan. Selanjutnya disusul dengan intervensi keamanan hakim dan keluarganya. Betul bahwa integritas yang memang sudah rusak juga menjadi faktor. Namun, kemungkinan Hakim tergoda semakin besar ketika kesejahteraannya belum layak terpenuhi. Salah satu upaya penting untuk menjaga integritas Hakim adalah memastikan kesejahteraan finansialnya terpenuhi (UNODC, 2020). Kenaikan gaji signifikan pada tahun 2012—melaluiPeraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada di Bawah Mahkamah Agung (PP No.94 Tahun 2012)—berdampak positif pada semakin terpenuhinya kesejahteraan Hakim. Hasil yang diharapkan adalah bisa mencegah Hakim “bermain” perkara.
Upaya menjaga integritas dan pencegahan korupsi melalui pemenuhan kesejahteraan bukan hal yang asing di dunia. Indonesia sendiri melakukannya di Direktorat Jenderal Pajak dan KPK. Di Malaysia, rekomendasi untuk perbaikan penghasilan Hakim bahkan muncul dari organisasi advokat. Badan Peguam Malaysia Malaysian Bar pada 18 Maret 2023 menyampaikan hal itu. Penghasilan Hakim dianggap elemen penting dalam menjaga independensi Hakim. Penghasilan Hakim tersebut sepadan dengan tugas, tanggung jawab, dan martabat Hakim. Kepercayaan publik terhadap independensi Hakim akan terkikis apabila Hakim dianggap rentan terhadap manipulasi ekonomi karena dibayar terlalu rendah.
Secara spesifik, wacana perbaikan kesejahteraan Hakim di Indonesia sudah didukung oleh Komisi 3 Dewan Perwakilan Rakyat pada 10 Agustus 2023 lalu. Wacana serupa juga telah menjadi perhatian Tim Percepatan Reformasi Hukum pada September 2023 lalu. Ada sorotan atas peningkatan secara bertahap gaji/tunjangan aparat penegak hukum termasuk Hakim. Peningkatan itu masuk dalam bagian agenda reformasi peradilan dan penegakan hukum.
Stagnan
Sayangnya, permasalahan kembali muncul setelah 11 tahun kenaikan gaji Hakim dengan PP No.94 Tahun 2012. Mengacu data inflasi Bank Indonesia, sejak tahun 2012 hingga tahun 2022 angka inflasi mencapai 45,93% atau rata-rata 4,59 % per tahun. Tentu standar kebutuhan yang layak sudah berubah sepanjang kurun waktu itu. Perlu dilakukan penyesuaian besaran penghasilan mengacu pada inflasi. Penyesuaian itu biasa diupayakan oleh gerakan-gerakan buruh hingga saat ini. Namun, penyesuaian tidak dilakukan terhadap penghasilan Hakim hingga saat ini.
Besaran Gaji Pokok dan Tunjangan Jabatan Hakim yang ditetapkan sejak tahun 2012 hingga tulisan ini terbit belum pernah disesuaikan mengikuti inflasi. Perlu ditekankan di sini, Hakim tidak menerima Tunjangan Kinerja seperti Aparatur Sipil Negara pada umumnya. Hal itu karena status Hakim diatur tersendiri sebagai Pejabat Negara. Otomatis pemenuhan kesejahteraan Hakim hanya bergantung pada Gaji Pokok dan Tunjangan Jabatan—serta beberapa tunjangan lain yang diatur PP Nomor 94 Tahun 2012. Tentu saja PP Nomor 94 Tahun 2012 sudah seharusnya dikaji ulang.
Pemenuhan kesejahteraan Hakim sebenarnya berdampak positif pada meningkatnya potensi negara dan masyarakat untuk memperoleh Hakim berkualitas baik. Ini tidak sekadar upaya pencegahan perilaku koruptif dan menjaga integritas Hakim. Umum diketahui, saat ini sektor swasta menawarkan penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan sektor publik di Indonesia. Sektor swasta lebih menarik bagi banyak lulusan terbaik Fakultas Hukum di Indonesia. Dengan pertimbangan kesejahteraan, wajar memilih untuk berkarir di sektor swasta alih-alih sektor publik.
Pengabdian?
Narasi bahwa pekerjaan sektor publik adalah bentuk pengabdian semata yang tidak boleh mempermasalahkan kesejahteraan harus mulai ditinggalkan. Narasi tersebut justru menjadi hambatan orang-orang dengan kualitas baik dan berintegritas untuk masuk ke dalam sektor publik. Setiap orang berhak memperoleh penghasilan yang layak, termasuk yang bekerja di sektor publik.
Laporan Judicial Compensation in New York: a National Perspective –yang dibuat National Center for State Courts—mempertimbangkan penghasilan Hakim yang tidak memadai dapat berdampak para profesional hukum yang berkualitas tidak berminat menjadi Hakim (National Center for State Courts, 2007). Oleh karena itu, peningkatan kesejahteraan seharusnya dilihat sebagai cara menjaring lebih banyak individu-individu yang berkualitas untuk menjadi Hakim. Upaya semacam itu patut diprioritaskan. Hakim yang berkualitas dan berintegritas pengadilan meningkatkan kesempatan masyarakat memperoleh putusan yang adil dan berkualitas. Integritas lembaga peradilan pun akan semakin terjaga.
Pejabat Negara, Gaji PNS
Hal lain yang perlu dikaji ulang dari PP Nomor 94 tahun 2012 adalah pengaturan gaji pokok Hakim yang disamakan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal, keduanya berbeda berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman dan UU ASN. Hakim adalah Pejabat Negara yang disebutkan setelah Presiden, MPR, DPR, dan DPD.
Besaran gaji pokok memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan tunjangan jabatan. Permasalahan akan muncul ketika seorang Hakim pensiun. Penghasilan pensiunnya akan turun drastis karena hanya memperhitungkan gaji pokok. Perlu diingat, Hakim diikat oleh kode etik yang melarang berbisnis dan berpolitik sepanjang hidupnya. Hakim juga dilarang membuka praktik kantor hukum selama periode tertentu selepas masa baktinya. Saran dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang mendorong PNS berwirausaha sangat tidak relevan untuk para Hakim yang masih aktif menjabat. Itu akan sangat berpotensi menimbulkan conflict of interest.
Pengaturan mengenai gaji pokok Hakim dalam PP Nomor 94 Tahun 2012 sebenarnya telah dibatalkan melalui Putusan Nomor 23 P/HUM/2018. Artinya, penyamaan dengan gaji pokok PNS tidak lagi berkekuatan hukum mengikat. Putusan ini menyatakan penyamaan besaran gaji pokok Hakim dengan PNS bertentangan dengan Undang-Undang. Namun, hingga saat ini belum ada payung hukum baru mengenai pengaturan gaji pokok Hakim.
Perkuat Pengawasan
Tidak dipungkiri, hingga saat ini masih ada Hakim yang terjerat korupsi di Pengadilan. Seperti disampaikan pada awal tulisan ini, faktor lain terjadinya korupsi di Pengadilan adalah oknum Hakim yang integritasnya memang sudah rusak. Upaya pencegahan korupsi harus berjalan simultan. Selain melalui pemenuhan kesejahteraan, harus juga dengan penguatan mekanisme pengawasan Hakim. Partisipasi publik dalam pengawasan hakim perlu ditingkatkan.
Aktifnya instansi pendidikan dan pers untuk mengawasi putusan Hakim akan sangat berarti. Institusi pengawasan Hakim harus diperkuat disertai hukuman berat terhadap Hakim yang terbukti masih melakukan praktik korupsi. Tanpa adanya mekanisme kontrol dan pengawasan yang baik, upaya pemenuhan kesejahteraan tersebut akan sia-sia. Para oknum Hakim yang memang sudah rusak integritasnya akan tetap melakukan praktik korupsi.
Perjuangan menyejahterakan Hakim semata-mata dilandasi niat tulus agar tercapainya peradilan yang dapat diandalkan dan dipercaya. Caranya dengan tetap memanusiakan Hakim. Jangan meromantisasi narasi pengabdian tulus ketika negara sebenarnya mampu untuk membayar layak. Hakim dapat fokus untuk menjatuhkan putusan dengan adil tanpa harus khawatir bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-harinya lagi. Mereka bisa dicegah dari tergoda iming-iming keuntungan finansial dari para pihak. Satu dekade lebih berjalan, adakah kesadaran atau sekedar pertanyaan yang mengetuk pemegang kekuasaan, sudahkah kita layak dan adil dalam membayar Hakim kita?