Publikasi
Opini

Dari Gaji ke Independensi: Jalan Panjang Mewujudkan Sila Kelima
Pasca pidato Presiden Prabowo Subianto pada Juni 2025 yang mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280%, suasana di kalangan peradilan Indonesia berubah drastis. Euforia menggelora tak hanya di ruang-ruang kantor pengadilan, tetapi juga menular ke lingkungan sosial Para Hakim. Dalam grup-grup percakapan, ucapan selamat, permintaan traktiran, hingga candaan tentang ‘rezeki nomplok’ datang bertubi-tubi. Bahkan tidak sedikit keluarga dan sahabat yang merasa yakin bahwa rekening para hakim sudah mendadak melimpah.
Namun di balik semarak itu, realitas masih berjalan dengan kaki yang lamban. Per 23 Juni 2025, belum ada satu pun regulasi atau peraturan perundang-undangan yang resmi mengatur perubahan hak keuangan dan fasilitas hakim. Tidak peraturan pemerintah, tidak pula keputusan presiden. Fakta ini menciptakan disonansi antara citra publik dan kenyataan birokratik yang sedang berjalan. Sebagian Hakim bahkan melaporkan kesulitan ketika meminjam uang kepada keluarga, karena tidak ada yang percaya bahwa mereka masih berada di situasi yang sama seperti sebelum pidato diumumkan.
Sebagian pihak menyebut bahwa ucapan terima kasih kepada Presiden Prabowo terlalu dini. Namun sebagian lain memilih untuk tetap menghargai itikad baik seorang Kepala Negara yang secara berani menyatakan komitmennya di hadapan dunia. Fenomena ini lalu menjadi ruang yang subur untuk menyimak dua gaya kepemimpinan dalam merespons aspirasi lembaga yudikatif.
Pada masa Presiden Joko Widodo, komunikasi publik mengenai kesejahteraan hakim nyaris senyap. Namun dua bulan setelah gelombang aksi cuti bersama Para Hakim pada Oktober 2024, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024 sebagai revisi terhadap PP 94 Tahun 2012 yang telah usang lebih dari satu dekade. Langkah itu tidak dikampanyekan luas, tetapi terbit dengan tuntas. Sebaliknya, Presiden Prabowo mengambil pendekatan yang lebih ekspresif dan konfrontatif terhadap harapan publik. Komitmennya diumumkan sejak Oktober 2024, diulang di berbagai forum strategis hingga akhirnya dideklarasikan secara terang-benderang pada momen pengukuhan hakim baru pada Juni 2025. Bedanya, hingga kini, realisasinya masih menanti kerja-kerja teknokratik yang belum rampung.
Kondisi ini tentu mengundang tanya dan ekspektasi. Namun dalam ruang hening yang penuh ketegangan itu, kita harus belajar menahan diri. Sebab perubahan besar membutuhkan kerja detil, lintas kementerian, dan proses perumusan yang tidak sederhana. Kita harus memberi ruang dan kepercayaan penuh kepada tim penyusun regulasi—baik dari Mahkamah Agung maupun dari tim Pemerintah Pusat—yang saat ini sedang menyusun regulasi dengan senyap namun serius. Komentar miring, sikap tergesa-gesa, atau tekanan sosial yang berlebihan justru bisa merusak kepercayaan dan mengganggu ritme kerja yang dibutuhkan untuk hasil yang kokoh.
Namun kita juga tidak boleh terjebak pada semata-mata soal angka. Sebab perjuangan tentang kesejahteraan hakim bukanlah tujuan akhir, melainkan pintu gerbang dari perjuangan yang lebih besar: independensi badan peradilan secara institusional. Apa yang diperjuangkan sejak Oktober 2024 adalah rekonstruksi ulang terhadap sistem keuangan dan pembinaan di lingkungan peradilan. Saat ini, Pengadilan di seluruh pelosok Indonesia masih harus bergantung pada sistem keuangan dan kepegawaian yang berada di luar kendalinya. Ketergantungan ini bukan hanya mengganggu efektivitas organisasi, tetapi juga membuka ruang intervensi yang membahayakan marwah kekuasaan kehakiman yang seharusnya merdeka.
Jika Para Hakim dituntut untuk independen dalam memutus perkara, maka Negara juga harus menjamin independensi dalam pengelolaan sumber daya manusia dan keuangan lembaga peradilan. Sebab tanpa itu, Pengadilan hanya akan menjadi pelaksana administrasi hukum, bukan penjaga moralitas konstitusi. Seperti yang dikemukakan Hans Kelsen, negara hukum bertumpu pada hirarki norma, dan hakim menjadi penghubung antara norma dasar dan kenyataan sosial. Tanpa jaminan kesejahteraan yang layak, posisi itu menjadi goyah, dan negara hukum hanya menjadi retorika.
Dari sudut pandang filsafat keadilan, posisi hakim adalah panggilan moral yang tidak boleh dijalankan dalam kecemasan ekonomi. Bahkan dalam maqashid al-shariah, keadilan sosial yang menjadi amanat sila kelima Pancasila hanya dapat diwujudkan ketika penegak hukumnya tidak bergantung pada belas kasihan pihak lain. Sebab tidak ada keadilan tanpa kemandirian. Tidak ada kemandirian tanpa martabat. Dan tidak ada martabat tanpa kesejahteraan yang memadai.
Kini, kita berdiri di antara dua sisi mata uang: antara janji yang telah diumumkan dan kenyataan yang belum sepenuhnya tiba. Maka yang dibutuhkan adalah kesabaran cerdas dan kepercayaan kolektif bahwa proses sedang bergerak ke arah yang benar. Jangan biarkan harapan dikerdilkan oleh ketergesaan, dan jangan pula biarkan sinisme menghancurkan optimisme.
Sebab pada akhirnya, perjuangan ini bukan semata-mata soal gaji. Ia adalah nyala kecil dari revolusi sunyi menuju negara hukum yang bermartabat. Ketika Para Hakim berdiri di ruang sidang dengan integritas dan kehormatan, maka di sanalah keadilan Indonesia menemukan jalannya, dan jika itu telah terjadi, maka pidato akan menjadi sejarah. Tapi keadilan, akan jadi warisan.