Publikasi
Opini

Dissenting Opinion: Antara Keharmonisan dan Kemandirian Hakim
Hakim merupakan pejabat negara yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk mengadili. Hakim bertugas untuk menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Hal ini selaras dengan prinsip-prinsip Dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ke-4 yaitu hakim harus bersikap mandiri. Hakim juga tidak terikat dengan garis struktural kepemimpinan atas ke bawah. Dengan demikian hakim tidak dituntut untuk menerapkan perilaku “korsa” dalam memutus suatu perkara. Hakim bebas dan mandiri dalam setiap mengambil keputusan.
Sebelum hakim menjatuhkan putusan, hakim terlebih dahulu bermusyawarah secara tertutup. Musyawarah ini hanya dihadiri oleh hakim yang menangani perkara. Bahkan ketua pengadilan sekalipun tidak diperkenankan untuk ikut dalam musyawarah meskipun hanya mendengarkan dan tidak ikut memberikan pendapat. Mengapa musyawarah dilakukan tertutup, agar jangan sampai hasil dari musyawarah diketahui para pihak berperkara sebelum putusan dibacakan. Meskipun musyawarah dilakukan secara tertutup, bukan berarti hasil musyawarah bersifat rahasia. Karena putusan diambil dari hasil musyawarah hakim dan putusan sifatnya terbuka untuk umum. Bahkan perkara yang diperiksa secara tertutup sekalipun, putusannya tetap harus dibacakan secara terbuka untuk umum. Jadi hasil dari musyawarah hakim harus diejawantahkan ke dalam putusan, tanpa terkecuali.
Dahulu hasil musyawarah dituangkan ke dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus dan isi buku tersebut sifatnya rahasia. Kemudian pada tahun 2001, sejarah mencatat Hakim Agung Artidjo Alkostar menyuarakan perbedaan pendapat dalam perkara tindak pidana korupsi Bank Bali dengan Terdakwa Djoko Tjandra, yaitu kasus pengalihan hak tagih (cessie) yang merugikan negara sekitar Rp546.000.000.000,00 (lima ratus empat puluh enam miliar Rupiah). Pada saat itu, dua Hakim Agung lainnya menyetujui untuk membebaskan Joko Tjandra, namun Hakim Agung Artidjo Alkostar berpendapat Joko Tjandra terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan Hakim Agung Artidjo Alkostar bersikeras agar pendapatnya tersebut dimuat dalam putusan, bukan hanya dilampirkan dalam buku himpunan putusan. Akhirnya, pendapat Hakim Agung Artidjo Alkostar yang berbeda dengan dua Hakim Agung lainnya, dimasukkan ke dalam putusan.
Mengutip berita hukumonline.com yang berjudul “Artidjo Alkostar: Hakim Agung Yang Melawan Arus”, alasan Hakim Agung Artidjo Alkostar melakukan perbedaan pendapat atau bisa juga disebut dengan “dissenting opinion”, karena Hakim Agung Artidjo Alkostar tidak mau ikut bertanggung jawab atas putusan yang membebaskan Joko Tjandra. Sebagai hakim hasil fit and proper test, Hakim Agung Artidjo Alkostar merasa dissenting opinion itu adalah bentuk pertanggungjawabannya terhadap publik dan DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia). Hakim Agung Artidjo Alkostar beralasan bahwa saat menjalani fit and proper test di DPR RI, dia menyatakan bahwa dia akan melakukan dissenting opinion bila menemui masalah seperti di atas dan dia melakukan tanda tangan di kertas bersegel ketika menjalani tes. Dia juga berharap terobosan yang dia lakukan itu akan menjadi suatu kajian dan kontribusi dalam khazanah keilmuan hukum.
Benar saja ucapan hakim agung Artidjo Alkostar tersebut, pada tahun 2009 aturan mengenai dissenting opinion diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang bunyi pasalnya sebagai berikut “dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”. Tidak hanya itu, dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pokoknya menyatakan “pendapat dalam musyawarah setiap hakim wajib menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”. Aturan ini makin menegaskan bahwa segala pendapat antar hakim yang menangani perkara tidak harus bulat satu suara, hakim bebas dalam menilai suatu perkara.
Dalam KUHAP yang sekarang masih berlaku, mengenai perbedaan pendapat hakim hanya dicantumkan dalam buku himpunan putusan, dan buku tersebut sifatnya rahasia. Begitu pula dengan RUU KUHAP, aturan tersebut tidak dirubah dan disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mana perbedaan pendapat hakim harus termuat dalam putusan.
Dinamika Dissenting Opinion Dalam Praktik Peradilan
Dalam Peradilan di Indonesia kini, meskipun perbedaan pendapat hakim telah diakui secara normatif oleh undang-undang, namun pada faktanya praktik pencatuman perbedaan pendapat hakim dalam putusan masih dianggap “sakral" dan “langka”. Hakim tidak jarang terjebak dalam stigma “hakim harus kompak” atau “hakim harus korsa”. Dampaknya tidak sedikit hakim yang memilih diam dan mengikuti suara mayoritas. Padahal pada saat musyawarah, hakim tersebut berbeda pendapat dengan suara mayoritas. Secara yuridis, hakim yang berbeda pendapat dengan suara mayoritas namun tidak mencantumkan perbedaan pendapatnya dalam putusan, dianggap sependapat dengan suara mayoritas dan dianggap tidak ada perbedaan pendapat meskipun dalam hatinya menolak. Artinya hakim tersebut juga terikat dengan segala konsekuensi yang ditimbulkan putusan tersebut. Misalnya terdapat persoalan hukum atau kode etik dikemudian hari.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hakim tidak memuat perbedaan pendapat pada putusan. Pertama, faktor ketidaksanggupan bersikap mandiri, hakim tidak mau menyuarakan perbedaan pendapatnya karena timbul kekhawatiran, rasa sungkan bahkan takut. Takut dianggap melawan pimpinan, takut dimusuhi rekan sejawat dan masih banyak lagi ketakutan yang dibayangkan yang padahal belum tentu terjadi. Padahal hakim seharusnya bersikap mandiri. Jadi ketika yang dibayangkan itu terjadi, hakim tidak perlu merasa takut untuk sendiri. Karena hakim memang ditakdirkan untuk sendiri. Menurut Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim, mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapa pun dan bebas dari pengaruh apa pun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.
Kedua, faktor adanya anggapan bahwa berbeda pendapat merupakan suatu hal yang sia-sia. Merasa tidak ada manfaatnya memuat perbedaan pendapat pada putusan, karena penjatuhan putusan yang digunakan bukan pendapatnya, melainkan pendapat mayoritas hakim yang lain. Hal ini merupakan kesesatan berpikir, karena pencantuman perbedaan pendapat memang bukan digunakan sebagai penjatuhan putusan namun sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim itu sendiri. baik itu pertanggungjawaban secara moral maupun yuridis.
Ketiga, adanya pemahaman yang keliru mengenai ruang lingkup perbedaan pendapat. Mengira perbedaan pendapat yang dapat dimuat dalam putusan hanya menyangkut salah atau tidak salahnya terdakwa (dalam perkara pidana). Padahal perbedaan pendapat dapat diajukan terhadap seluruh ruang lingkup dalam perkara yang hakim tangani. Baik itu pada pembuktian salah-tidak salahnya terdakwa, sikap terhadap barang bukti apakah dimusnahkan atau dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada siapa barang bukti itu disita dan lain sebagainya, bahkan tentang penerapan jenis pidana atau berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Tidak ada aturan yang mengatur mengenai ruang lingkup mana yang tidak boleh berbeda pendapat. Yang ada hanya aturan yang mengatur mengenai pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Dissenting Opinion Suatu Hal yang Wajar
Hakim adalah suatu profesi yang merdeka yang dijamin oleh konstitusi. Maka, perbedaan pendapat yang jujur yang tidak dilandasi oleh kepentingan dan dilandasi ratio decidendi (alasan rasional hakim/pertimbangan hakim) yang jelas merupakan bentuk profesionalitas seorang hakim. Karena dengan tidak diterapkannya lagi buku himpunan putusan, perbedaan pendapat hakim yang dimuat dalam putusan menjadi satu-satunya cara untuk mendokumentasikan pendapat hakim yang berbeda secara sah dan terbuka untuk umum, yang mana seluruh masyarakat dapat mengaksesnya melalui laman Direktori Putusan Mahkamah Agung. Sudah waktunya dissenting opinion tidak lagi dianggap sebagai simbol ketidakharmonisan sesama hakim atau perlawanan pada pimpinan atau lembaga. Dissenting opinion harus dianggap sebagai bentuk cerminan hakim yang biasa-biasa saja, yang sedang menjalankan tugasnya sesuai aturan yang berlaku.
Masyarakat juga harus mengubah pola pikirnya, agar tidak memandang suatu putusan yang terdapat dissenting opinion sebagai putusan “yang ada apa-apanya”. Masyarakat jangan mencurigai bahwa Hakim yang berpendapat mayoritas, merupakan Hakim yang “bermain mata”. Masyarakat harus berpandangan bahwa putusan yang memuat dissenting opinion sebagai putusan yang transparan dan independen. Selama masing-masing hakim memiliki ratio decidendi yang jelas, baik pendapat hakim yang mayoritas maupun minoritas, keadaan itu merupakan dinamika musyawarah yang tak terelakkan, dan itu keadaan yang mulai harus diwajarkan. Kita perlu mendorong perubahan budaya hukum, bahwa dissenting opinion bukanlah suatu hal yang sakral, melainkan suatu hal yang biasa saja dan normal.