Solidaritas Hakim Indonesia

Publikasi

Opini

Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia: Refleksi untuk Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia: Refleksi untuk Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Dipublikasikan oleh Catur Alfath Satriya pada 5 Januari 2025

Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia bukan hanya tentang kesejahteraan hakim, namun gerakan untuk menuntut independensi kekuasaan kehakiman dan reformasi pengadilan agar pengadilan menjadi institusi yang bersih dari korupsi dan mampu menjadi garda terdepan dalam menghasilkan keadilan di masyarakat.

Tanggal 7-11 Oktober 2024 bisa dikatakan sebagai tanggal yang bersejarah bagi hakim di Indonesia. Pada tanggal itulah mayoritas hakim di Indonesia melakukan gerakan cuti secara bersamaan dan menuju Jakarta untuk beraudiensi menuntut kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi para hakim di Indonesia.

Gerakan ini mengulang gerakan yang sama pada tahun 2011 yaitu para hakim melakukan aksi di Jakarta dan bertemu dengan beberapa tokoh masyarakat untuk menuntut kesejahteraan yang layak bagi yang akhirnya buah aksi tersebut adalah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.

Sejak PP tersebut terbit para hakim menuntut hak yang sama yaitu terkait dengan kesejahteraan yang selama 12 tahun tidak ada perubahan dari pemerintah. Para hakim berkonsolidasi dan menamakan dirinya sebagai gerakan Solidaritas Hakim Indonesia (SHI). Gerakan ini diinisiasi oleh para hakim muda yang melihat bahwa isu kesejahteraan hakim hanyalah masalah yang ada di permukaan yang harus segera diselesaikan. Namun, selain isu kesejahteraan ada isu-isu yang lain yang harus diselesaikan untuk mendorong terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman dan pengadilan yang bersih.

Ada 4 isu yang dibawa/diusung oleh gerakan Solidaritas Hakim Indonesia yaitu: (1) Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung; (2) Dibuka lagi pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim; (3) Terbitkan Undang-Undang mengenai Contempt of Court; (4) Terbitkan Peraturan Pemerintah mengenai Keamanan Hakim. Setidaknya empat isu tersebut saat ini yang menjadi kegelisahan dari gerakan Solidaritas Hakim Indonesia.

Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan yang Merdeka

Salah satu yang menarik ketika membahas kekuasaan kehakiman atau pengadilan adalah institusi ini selalu dikaitkan dengan dua nilai yaitu imparsial dan independen. Imparsial artinya seorang hakim tidak boleh terlihat berpihak dalam mengadili suatu perkara dan independen yaitu seorang hakim dalam mengadili suatu perkara tidak boleh dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak berkaitan dengan perkara yang ditanganinya.

Berbeda dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif yang senantiasa berupaya saling mempengaruhi dalam membuat keputusan politik. Kekuasaan kehakiman justru tidak boleh dipengaruhi dan terpengaruh oleh hal-hal di luar dari dirinya dalam membuat suatu keputusan. Karena itu, penting bagi kekuasaan kehakiman untuk senantiasa merdeka agar keadilan di masyarakat tetap terjamin sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi.

Pada prinsipnya, kekuasaan kehakiman setidaknya harus independen dalam 3 hal yaitu independensi fungsional yaitu lembaga kekuasaan kehakiman harus independen dalam menjalankan tugasnya. Lembaga kekuasaan kehakiman tidak boleh diintervensi oleh lembaga luar, bahkan oleh pemerintah dan parlemen. Lembaga kekuasaan kehakiman tidak boleh bekerja seperti lembaga “perwakilan” yang memutus sesuatu untuk seseorang atau sekelompok orang atau lembaga “birokrasi” yang hanya menjadi stempel terhadap perkara yang dilimpahkan yang hanya berkutat dengan aturan-aturan formil.

Lembaga kekuasaan kehakiman harus bekerja seperti lembaga “intelektual” yang mengedepankan pemikiran dan hati nurani dalam melihat suatu permasalahan. Ada 3 nilai utama yang harus dipegang oleh lembaga kekuasaan kehakiman yaitu independensi, imparsial, dan kompetensi. Selanjutnya, independensi struktural yaitu lembaga kekuasaan kehakiman secara struktural harus independen di masing-masing tingkat peradilan. Dalam hal ini, tidak boleh hakim atau pengadilan yang berada lebih tinggi mengintervensi hakim atau pengadilan yang berada di bawahnya. Pengadilan yang lebih tinggi hanya boleh memeriksa perkara apabila perkara tersebut diajukan ke pengadilan tersebut.

Hal ini sesuai apa yang termaktub dalam UUD Tahun 1945 bahwa badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung adalah entitas terpisah. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung mendapatkan kewenangannya dari undang-undang dasar, bukan delegasi kewenangan dari Mahkamah Agung. Yang tidak kalah penting adalah kemandirian anggaran. Kemandirian anggaran penting karena tanpa adanya kemandirian anggaran kekuasaan kehakiman akan menjadi kekuasaan yang lemah yang tidak mampu mengimbangi kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Perihal ini sudah pernah dikemukakan oleh Alexander Hamilton dalam Federalist Paper Nomor 78 ketika para framers Amerika Serikat bermusyawarah untuk membentuk lembaga-lembaga negara. Dalam pandangannya, Alexander Hamilton menjelaskan kekuasaan eksekutif mempunyai kekuatan karena mereka mempunyai pedang (sword) dan kekuasaan legislatif mempunyai kekuatan karena mereka mempunyai dompet (purse).

Sementara itu, kekuasaan kehakiman hanya mengandalkan putusannya (judgement), sehingga penghormatan terhadap putusan hakim sangat penting untuk menjaga demokrasi di suatu negara. Karena itu, dalam Federalist Paper Alexander Hamilton sepakat dengan pendapat Montesquieu bahwa tidak ada kebebasan jika kekuasaan dalam mengadili tidak dipisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif (there is no liberty, if the power of judging be not separated from executive and legislative powers).

Apabila dimaknai secara luas pemisahan antara kekuasaan kehakiman dengan kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif harus juga disertai dengan pemisahan anggaran bukan hanya fungsional maupun struktural. Pemisahan anggaran ini bertujuan agar kekuasaan kehakiman bisa secara leluasa mengatur penggunaan anggarannya untuk membangun institusi pengadilan dan para hakim yang berada di dalamnya.

Di Asia Tenggara, Filipina sudah menetapkan pengeluaran wajib (mandatory spending) untuk pengadilan. Di dalam Konstitusi Filipina tertulis bahwa anggaran pengadilan bahkan tidak boleh berkurang setiap tahunnya meskipun keuangan negara sedang mengalami defisit. Perihal ini tertulis di dalam Article VIII Section 3 (1987 Constitution).

Section 3. The Judiciary shall enjoy fiscal autonomy. Appropriations for the Judiciary may not be reduced by the legislature below the amount appropriated for the previous year and, after approval, shall be automatically and regularly released.

Dengan adanya otonomi fiskal, pengadilan diharapkan mampu memutus dengan independen, imparsial, dan kompeten. Tidak ada lagi intervensi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap institusi pengadilan. Bagaimanapun untuk membawa negara pada kondisi ideal dan terwujudnya cita-cita negara masing-masing kekuasaan harus bisa berjalan sebagaimana fungsinya.

Peran kekuasaan kehakiman atau pengadilan dalam hal ini adalah untuk menjaga demokrasi dan hak asasi manusia dalam suatu negara. Selain itu, kekuasaan kehakiman merupakan perwujudan konkrit dari paham negara hukum sebagaimana yang sudah termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia adalah Negara Hukum.

Bagikan