Publikasi
Opini

Hakim, Harapan, dan Prabowo: Akankah Perubahan Terwujud?
Perjuangan para hakim untuk mendapatkan kesejahteraan yang layak telah memasuki babak baru. Setelah 12 tahun tanpa perubahan pada tunjangan jabatan hakim, tahun 2024 akhirnya mencatat adanya kenaikan sebesar 40%. Namun, kenaikan ini jauh dari harapan. Selama lebih dari satu dekade, para hakim telah menghadapi berbagai tantangan, termasuk tekanan kerja yang berat, kondisi ekonomi yang semakin kompleks, dan kurangnya dukungan dari pemerintah. Ketidaksesuaian ini menunjukkan adanya celah serius antara kebutuhan nyata para hakim dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah, yang seharusnya memahami bahwa kesejahteraan hakim adalah fondasi utama tegaknya sistem peradilan.
Dalam refleksi 100 hari kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, harapan besar mengiringi langkah awal pemerintahannya. Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi bangsa, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Prabowo mencapai lebih dari 80%, berdasarkan berbagai survei nasional. Angka ini tidak hanya mencerminkan kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap kemampuan presiden, tetapi juga memberikan momentum bagi pemerintah untuk segera merealisasikan janji-janji reformasi, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan hakim. Optimisme yang besar ini harus direspons secara konkret dan sistematis oleh pemerintah, mengingat bahwa kesejahteraan para hakim adalah ujung tombak pembangunan hukum dan keadilan di Indonesia.
Salah satu aspek penting yang menjadi sorotan adalah tunjangan kemahalan. Meskipun telah diatur untuk beberapa daerah, banyak wilayah yang seharusnya mendapatkan fasilitas ini masih belum tercakup dalam regulasi. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, dengan biaya hidup yang tinggi, tidak mendapatkan tunjangan yang sebanding, meskipun beban pengeluaran di wilayah tersebut sering kali setara dengan daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau. Ketidakadilan ini menambah beban ekonomi bagi para hakim, terutama mereka yang bertugas di wilayah urban dengan tekanan pekerjaan yang lebih tinggi. Kebijakan yang lebih inklusif dan menyeluruh diperlukan untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar para hakim terpenuhi tanpa diskriminasi geografis.
Selain itu, jumlah hakim yang tidak memadai menjadi persoalan mendasar yang memperburuk situasi. Banyak pengadilan tingkat pertama kini melaksanakan persidangan dengan hakim tunggal karena kekurangan sumber daya manusia. Kondisi ini menciptakan tekanan kerja yang berat, mengorbankan kesehatan fisik dan mental para hakim, serta berpotensi menurunkan kualitas putusan. Dengan beban perkara yang terus meningkat setiap tahun, pemerintah perlu segera mengatasi masalah ini melalui rekrutmen hakim secara besar-besaran dan peningkatan fasilitas pendukung di pengadilan.
Tragedi yang terjadi setiap tahun semakin menyoroti beratnya beban yang ditanggung para hakim. Hampir setiap tahun, ditemukan hakim yang meninggal di kos-kosan, jauh dari keluarga. Dalam banyak kasus, jasad hakim baru ditemukan beberapa hari setelah kematiannya karena tidak ada yang menyadari ketidakhadirannya. Kondisi ini tidak hanya menggambarkan isolasi yang dirasakan para hakim, tetapi juga tekanan ekonomi yang memaksa mereka untuk hidup terpisah dari keluarga demi menghemat biaya. Fenomena ini adalah bukti nyata bahwa tanpa dukungan kesejahteraan yang layak, para hakim harus berjuang sendirian, bahkan dalam menghadapi kesulitan yang paling mendasar.
Penelitian menunjukkan adanya hubungan erat antara kesejahteraan hakim dan kualitas putusan pengadilan. Hakim yang diberikan kesejahteraan memadai terbukti mampu menghasilkan putusan yang lebih berkualitas, adil, dan terpercaya. Penelitian ini diperkuat oleh resolusi International Association of Judges (IAJ), yang menekankan bahwa kesejahteraan hakim adalah pilar utama dalam menjaga independensi peradilan. Negara-negara yang menghormati sistem hukum yang berkeadilan harus memprioritaskan alokasi anggaran untuk mendukung kesejahteraan hakim sebagai bentuk penghormatan terhadap prinsip keadilan universal.
Perbaikan kesejahteraan hakim juga memberikan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Sistem peradilan yang berkualitas mampu meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Kepercayaan ini menjadi pilar utama legitimasi sistem hukum dan mendorong stabilitas sosial serta ekonomi. Selain itu, investasi dalam kesejahteraan hakim juga menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, karena keadilan yang terjamin menarik kepercayaan investor untuk berkontribusi pada pembangunan ekonomi.
Kini, di bawah kepemimpinan baru di Mahkamah Agung dan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, terdapat harapan besar bahwa langkah nyata untuk memperbaiki kesejahteraan hakim akan segera diwujudkan. Namun, ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Seluruh elemen bangsa, termasuk masyarakat, akademisi, dan media, harus turut mendukung perjuangan ini dengan menjaga integritas sebagai landasan utama. Integritas menjadi kunci untuk memastikan bahwa perjuangan ini tetap berada di jalur yang benar, bebas dari korupsi, dan membawa manfaat nyata bagi masa depan peradilan Indonesia.
Solidaritas dan integritas adalah dua pilar yang tidak dapat dipisahkan. Solidaritas diperlukan untuk memperkuat tekad bersama dalam memperjuangkan hak-hak konstitusional para hakim, sementara integritas menjadi jaminan bahwa perjuangan ini akan membawa manfaat yang nyata, baik bagi para hakim maupun bagi masyarakat luas. Saatnya kita bersama memastikan bahwa cita-cita para pendiri bangsa untuk menciptakan peradilan yang adil, berwibawa, dan bermartabat dapat diwujudkan.
Harapan besar telah digantungkan pada pemimpin yang baru, dengan dukungan masyarakat yang tinggi. Namun, hanya waktu yang akan menjawab, akankah harapan itu tercapai?