Solidaritas Hakim Indonesia

Publikasi

Opini

Hari Ini Bisa Mengadili, Besok Bisa Diadili

Hari Ini Bisa Mengadili, Besok Bisa Diadili

Dipublikasikan oleh Iqbal Lazuardi pada 17 April 2025

Dunia selalu berubah, membawa manusia pada takdir yang tak terduga. Dalam ruang sidang, hakim memegang kekuasaan besar: memutus perkara, menentukan nasib orang lain, dan berbicara atas nama keadilan. Namun, kekuasaan itu tidak abadi. Sejarah mengingatkan kita bahwa hakim pun bisa jatuh bukan karena kekuatan eksternal, tetapi karena keserakahan, kelalaian, dan pengkhianatan terhadap integritas.

Kita telah melihatnya. Hakim yang dahulu memimpin persidangan dengan tegas, kini menjadi terdakwa yang menunduk dalam diam. Hanya sekejap, posisi terhormat berubah menjadi simbol kejatuhan moral. Kekuasaan yang dahulu diagungkan, kini menjadi beban yang memalukan. Apa yang salah? Barangkali bukan sistemnya yang gagal, tetapi manusianya yang lupa bahwa kekuasaan tak pernah bisa dipisahkan dari pertanggungjawaban etik dan spiritual.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 butir 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Tugas ini adalah amanah yang suci, bukan privilege yang boleh diperdagangkan. Namun, kekuatan etis seorang hakim tak dibentuk semata oleh teori hukum atau aturan kelembagaan. Ia terbentuk dari perjalanan hidup, dari nilai yang ditanamkan sejak kecil, dari cinta dan pengorbanan orang-orang terdekat. Dan di sinilah sisi paling menyentuh dari sebuah kejatuhan moral: bukan hanya institusi yang tercoreng, tapi juga keluarga yang hancur.

Pernahkah kita membayangkan perasaan orang tua yang dengan susah payah membesarkan kita, menyekolahkan kita hingga menjadi hakim, lalu suatu hari melihat nama anaknya terpampang dalam berita sebagai tersangka atau terdakwa korupsi? Apa yang tersisa dari kebanggaan mereka? Apa yang tersisa dari doa dan harapan mereka selama ini?

Seorang ayah yang dahulu mengantar kita mengikuti ujian masuk Fakultas Hukum dengan penuh harap, kini hanya bisa menunduk malu di hadapan tetangga. Seorang ibu yang dahulu bangga bercerita kepada keluarga bahwa anaknya adalah seorang hakim, kini tak sanggup menatap layar televisi karena air matanya tak kunjung berhenti. Mereka tak mengerti tentang konstruksi dakwaan atau rumitnya pertimbangan yuridis. Mereka hanya tahu satu hal: anak yang mereka didik dengan nilai kejujuran, kini justru mencederai nilai itu sendiri.

Betapa hancurnya hati seorang ibu yang merasa gagal bukan karena kurang memberi harta, tetapi karena anaknya kehilangan hati nurani. Betapa pilunya seorang ayah yang selama ini menahan lelah demi menyekolahkan anaknya, kini menyaksikan nama keluarga tercoreng karena keserakahan.

Dan bukan saja hanya kedua orang tua. Seorang istri yang setiap malam mendoakan keselamatan suaminya di ruang sidang, kini harus menanggung cibiran lingkungan. Anak-anak yang dulu bangga mengatakan "ayahku seorang hakim", kini harus memaknai kata itu dengan luka dan kebingungan. Mereka menjadi korban dari kejatuhan yang seharusnya bisa dihindari jika saja amanah dijaga dengan penuh kesadaran.

Maka, sebelum kita melangkah lebih jauh ke jalan yang salah, ingatlah wajah-wajah itu. Ingatlah tangan tua yang pernah menggenggam kita saat jatuh, dan mulut yang tak pernah berhenti berdoa dalam diam. Ingatlah istri yang menunggu dengan sabar, anak-anak yang menatap dengan harapan. Mereka semua percaya bahwa kita adalah pribadi yang pantas dipercaya. Jangan khianati keyakinan mereka hanya demi kenyamanan sesaat.

Integritas bukan sekadar tuntutan profesi ia adalah pertanggungjawaban kita terhadap keluarga, masyarakat, dan Tuhan. Maka, untuk menjaga agar hakim tak jatuh dalam kubangan korupsi, perlu langkah-langkah strategis:

Pertama, Reinternalisasi Nilai Etika dan Spiritualitas

Tak cukup hanya menghafal undang-undang, seorang hakim harus terus mengasah nuraninya. Pendidikan etika dan pendekatan spiritual menjadi fondasi dalam menghadapi godaan yang tak pernah habis.

Kedua, Penguatan Sistem Pengawasan yang Berani dan Transparan

Lembaga pengawas tidak boleh hanya menunggu laporan seolah menanti bom waktu. Pengawasan harus aktif, berani membongkar, dan tidak ragu menindak meskipun itu berarti menyentuh pihak-pihak yang selama ini merasa kebal. Transparansi dan kolaborasi antarlembaga adalah kunci untuk memutus mata rantai pembiaran.

Ketiga, Pembudayaan Hidup Sederhana dan Bertanggung Jawab

Kesederhanaan bukan sekadar pilihan gaya hidup, melainkan pernyataan nilai. Di tengah dunia yang gemar mengukur harga, bukan makna, hidup sederhana menjadi bentuk perlawanan sunyi terhadap arus materialisme. Menolak fasilitas di luar kewajaran adalah wujud nyatanya pesan bahwa integritas dijaga bukan saat diawasi, melainkan saat tidak ada yang melihat. Sebab, hidup sederhana bukan soal citra, melainkan keberanian menolak uang haram, sekecil apa pun bentuknya.

Keempat, Keteladanan dari Pimpinan dan Rekan Sejawat

Keteladanan moral dari mereka yang lebih senior menjadi cermin yang jelas bagi hakim muda. Ketika yang senior hidup dengan integritas, menolak segala bentuk penyimpangan, dan terbuka untuk dikoreksi, budaya saling mengingatkan akan tumbuh secara alami. Keteladanan yang diberikan oleh mereka yang lebih berpengalaman adalah pondasi bagi pembentukan lingkungan peradilan yang bersih dan penuh tanggung jawab.

Kelima, Mendorong Negara Memberikan Penghidupan yang Layak bagi Hakim

Untuk memastikan bahwa hakim dapat menjalankan tugasnya dengan integritas, negara harus didorong untuk memberikan penghidupan yang layak bagi mereka. Hakim yang hidup dalam kecukupan dan tanpa tekanan ekonomi lebih mampu menjaga objektivitas dan menghindari godaan yang dapat merusak kepercayaan publik. Oleh karena itu, penghasilan yang memadai dan fasilitas yang mendukung adalah langkah penting untuk menghindari praktek-praktek korupsi yang dapat merusak sistem peradilan. Kesejahteraan hakim bukan hanya hak, tetapi juga investasi untuk terciptanya keadilan yang sejati.

Kita tidak hanya mengadili perkara orang lain pada akhirnya, kita juga akan diadili oleh sejarah, oleh nurani, oleh keluarga, bahkan oleh anak cucu kita sendiri. Maka tetaplah sadar: jabatan hanya sementara, tetapi kehormatan adalah warisan abadi. Jangan korbankan itu semua hanya karena satu godaan yang tak sebanding dengan harga air mata orang tua kita.

Karena sejatinya, menjadi hakim bukan sekadar peran formal di ruang sidang. Ia adalah amanah kehidupan. Ia adalah tanggung jawab yang menuntut kita untuk hidup lebih jujur dari yang lain, lebih bersih dari yang lain, dan lebih kuat dari godaan yang menjerat banyak orang. Kita bukan hanya memikul nama pribadi, tapi membawa harapan keluarga, kehormatan institusi, dan martabat hukum itu sendiri.

Ingatlah, kita bukan hidup untuk diri kita sendiri. Di belakang seorang hakim ada istri yang rela memendam cemas saat suaminya menangani perkara besar. Ada anak-anak yang menunggu dengan bangga untuk berkata di depan kelas, "Ayahku seorang hakim". Ada orang tua yang setiap malam menyebut nama kita dalam doa, berharap kita tetap berada di jalan yang benar.

Jangan biarkan mereka menutup usia dengan penyesalan karena anak, pasangan, atau orang yang mereka cintai gagal menjaga amanah. Jangan biarkan kesalahan kita merenggut ketenangan mereka yang seharusnya menikmati masa tua dengan bangga, bukan dengan beban malu.

Maka sebelum tangan ini menerima sesuatu yang bukan haknya, sebelum hati ini tergoda untuk menjual putusan demi keuntungan sesaat, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah saya sanggup melihat ibu saya menangis bukan karena haru, tapi karena malu?” “Apakah saya tega melihat anak saya menunduk saat teman-temannya mengejek profesi saya?” “Apakah saya sanggup menghadap Tuhan dan berkata bahwa saya menukar keadilan demi kenyamanan dunia?”

Tugas kita memang berat, tapi itulah kemuliaannya. Jika ingin kekal dalam kehormatan, maka jaga integritas meski harus melawan arus. Jika ingin hidup dengan tenang, maka jangan sekali pun menyentuh sesuatu yang mengkhianati kepercayaan publik.

Hari ini, kita memang bisa mengadili. Tapi esok, siapa yang tahu? Dunia bisa berbalik arah. Jangan sampai kita duduk di kursi pesakitan bukan karena konspirasi, tapi karena kita sendiri yang menggali lubang kejatuhan. Jangan tunggu waktu yang ‘tepat’ untuk berubah. Karena waktu tak pernah menunggu siapa pun justru kitalah yang akan dihakimi olehnya.

Kalau menunggu waktu, bersiaplah: waktu pula yang akan memberi jawabannya dengan caranya sendiri, yang seringkali datang terlambat untuk penyesalan. Jangan tunggu momen penyesalan untuk menyadari harga dari kejujuran. Karena sekali kehilangan integritas, tak ada jabatan, tak ada gelar, tak ada harta yang mampu mengembalikannya.

Bagikan