Solidaritas Hakim Indonesia

Publikasi

Opini

Kartini di Pelosok Negeri Menjaga Cahaya dari Balik Rumah Hakim

Kartini di Pelosok Negeri Menjaga Cahaya dari Balik Rumah Hakim

Dipublikasikan oleh Iqbal Lazuardi pada 21 April 2025

Setiap bulan April, kita mengenang sosok Raden Ajeng Kartini, perempuan yang melampaui zamannya, sosoknya hadir tidak hanya sebagai simbol emansipasi perempuan, tetapi sebagai penyulut kesadaran kolektif bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk berpikir, bermimpi, dan mewujudkan cita-cita. lewat pemikiran dan surat-suratnya menyalakan obor kesadaran perempuan Indonesia. Kalimatnya yang paling masyhur, “Habis Gelap Terbitlah Terang”, bukan sekadar rangkaian kata puitis, tapi cermin dari sebuah perjuangan yang jujur, berani, dan penuh harap akan perubahan.

Hari ini, semangat Kartini terasa semakin relevan di tengah ujian integritas yang menerpa lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Agung. Kita semua dituntut untuk turut ambil bagian dalam kebangkitan moral dan etika, yang tak hanya bertumpu pada reformasi sistem, tetapi juga pada pembenahan nilai-nilai di ruang-ruang paling pribadi yaitu rumah tangga para hakim. Api semangat Kartini itu masih menyala, bukan sekadar dalam seminar atau upacara peringatan, melainkan berdenyut nyata dalam kehidupan sehari-hari di pelosok negeri yang jauh dari sorotan, tempat para perempuan hidup dalam kesunyian dan kesederhanaan, namun memegang peran besar menjaga sendi kehidupan berbangsa terutama melalui pengabdian mereka di balik rumah seorang hakim.

Sebagai hakim yang bertugas di daerah, saya menyaksikan sendiri bahwa tugas mulia ini bukan hanya ditopang oleh kompetensi, keteguhan hati, dan integritas pribadi, melainkan juga oleh kekuatan tak terlihat yang hadir di balik layar yakni peran para istri. Di ruang yang tak dilihat publik, mereka menjadi tiang penyangga dari keputusan-keputusan penting yang kami ambil di ruang sidang. Mereka bukan hanya pasangan hidup, tetapi penjaga nilai dan moral yang mengingatkan, menegur, dan mendampingi saat godaan kekuasaan atau keletihan batin datang mengusik.

Bung Karno pernah berkata, “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya, jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” Ucapan itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kemajuan dan kemuliaan sebuah bangsa atau dalam hal ini, marwah peradilan bergantung pada kekuatan seimbang antara laki-laki dan perempuan. Maka dalam tugas sunyi penegakan keadilan, hakim dan istrinya bukan hanya saling melengkapi, tapi saling menguatkan. Bila salah satu melemah, maka keseimbangan itu runtuh.

Di sinilah peran istri-istri hakim menjadi begitu berarti. Dalam diam, merekalah penjaga yang setia menguatkan, mengingatkan, dan menjadi pagar moral di tengah godaan kekuasaan serta materi yang bisa menyusup kapan saja. Tak banyak yang menyadari, bahwa di balik tegaknya integritas seorang hakim, sering kali berdiri sosok istri yang menjadi penopang langkahnya. Banyak dari mereka rela meninggalkan kenyamanan dan kehidupan kota demi mendampingi suami bertugas di pelosok negeri, menapaki jalan sunyi pengabdian. Namun, pengorbanan mereka tak berhenti di sana mereka juga hadir dan berperan aktif dalam Dharmayukti Karini (DYK) organisasi perempuan peradilan yang menjadi ruang belajar, bertumbuh, dan memperkuat solidaritas. Di sanalah semangat Kartini menjelma dalam bentuk yang nyata dengan menyelenggarakan kegiatan sosial, pendidikan keluarga, pengabdian masyarakat, bahkan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan menanamkan nilai-nilai etika dalam lingkup kecil, tapi bermakna besar. Meski tanpa menuntut pengakuan, peran mereka nyata menanamkan nilai keadilan dalam bentuk paling tulus melalui kasih di rumah, keteladanan di keluarga, dan harapan yang disematkan pada anak-anak mereka sebagai tunas bangsa yang kelak memikul cita-cita mulia.

Di tengah krisis kepercayaan yang saat ini melanda institusi hukum, kita sering lupa bahwa perjuangan membenahi peradilan tidak hanya berlangsung lewat reformasi struktural atau kebijakan besar. Ia juga terjadi dalam ruang paling pribadi yakni keluarga. Ketika istri seorang hakim menjaga integritas suaminya, mengingatkannya untuk tetap lurus, dan menanamkan nilai kejujuran pada anak-anaknya, maka ia telah berkontribusi pada tegaknya marwah peradilan. Ia adalah Kartini masa kini, yang tidak membawa obor di jalan-jalan besar, tapi menyalakan pelita di dalam rumah.

Peran ini bukan peran kecil. Dalam sunyi dan kesetiaannya, istri seorang hakim sejatinya tengah menjaga cahaya keadilan agar tidak padam. Ia mungkin tidak pernah mengetuk palu, namun kehadirannya membuat sang pemegang palu tetap berdiri tegak. Dan dalam kesederhanaannya, ia mengajarkan bahwa kekuatan moral sebuah bangsa sering kali bermula dari meja makan keluarga, dari pelukan tulus di penghujung hari, dan dari doa yang mengalir dari hati paling dalam dikesunyian malam.

Hari ini, kita merayakan Hari Kartini. Tapi lebih dari itu, mari kita rayakan pula Kartini-Kartini di pelosok negeri. Para perempuan yang tidak dikenal sejarah nasional, tapi menjadi penjaga sejarah moral bangsa. Perempuan yang tak disebut dalam pidato kenegaraan, tapi menjadi benteng dari rapuhnya integritas.

Dari Pulau Punjung yang sunyi, saya menyampaikan hormat sedalam-dalamnya kepada para Kartini di balik rumah, perempuan-perempuan yang setia menjaga, menguatkan, dan mendampingi. Selama mereka ada, nyala harapan bagi peradilan yang bersih takkan pernah redup. Kita boleh percaya, sinar keadilan akan terus menyala, dan peradilan akan tetap memiliki wajah yang teduh serta hati yang jernih.

Selamat Hari Kartini, untuk setiap perempuan yang menjadi cahaya dari balik rumah. Kalian adalah penerus dari semangat yang tak pernah padam sebab dari habis gelap, terbitlah terang dan cahayamu, sungguh, menyinari negeri ini dari pelosok yang paling jauh sekalipun.

Bagikan