Solidaritas Hakim Indonesia

Publikasi

Opini

Keamanan Hakim Untuk Peradilan yang Independen

Keamanan Hakim Untuk Peradilan yang Independen

Dipublikasikan oleh Bagus Sujatmiko & Amelia Devina Putri pada 5 November 2024

Keamanan hakim di Indonesia sangat rentan terhadap ancaman dan bahaya karena harus berpindah-pindah lokasi dinas secara berkala. Ancaman keamanan hakim akan mengganggu pekerjaannya.

Independensi peradilan masih menjadi tugas rumah yang berat bagi penegakan hukum Indonesia. Salah satu penyebabnya karena minim jaminan keamanan terhadap hakim. Laporan riset Institute Criminal Justice Reform mencatat reformasi hukum belum menjadi prioritas pada pemerintahan Indonesia. Bisa dikatakan tujuh dekade ini seperti tidak ada perubahan pada jaminan keamanan terhadap sang pengadil. Padahal, peran lembaga yudisial tidak hanya sebagai penegak hukum dan pelindung hak asasi manusia. United Nations Human Rights (UNHCR) menyebut perannya juga sebagai pembatas dari kewenangan yang dimiliki eksekutif dan legislatif. UNHCR menguraikan Basic Principles on the Independence of the Judiciary. Isinya menyebut setiap lembaga negara/institusi pemerintah harus menghormati dan memerhatikan independensi peradilan terlindungi dari segala bentuk tekanan.

Tulisan ini akan membahas bagaimana keamanan hakim merupakan salah satu faktor yang berdampak pada independensi peradilan. Pertama dengan melihat realita keamanan hakim saat ini. Selanjutnya dengan melihat kondisi ideal yang membandingkan praktik di negara lain. Penulis akan mengusulkan solusi jangka pendek dan jangka panjang.

Hakim harus imparsial dalam menjalankan tugasnya atau dikenal juga dengan istilah without fear or favour. Namun, seseorang yang berada dalam rasa takut tidak dapat memutus dengan pertimbangan optimal. Mengutip David William McKeauge—hakim pada US Court of Appeals—bahwa ketika hakim dalam ketakutan maka hal ini akan menghalangi pekerjaannya.

Keamanan hakim di Indonesia sangat rentan terhadap ancaman dan bahaya karena mereka harus berpindah-pindah lokasi dinas. Seorang hakim harus keluar dari daerah asalnya ke daerah baru. Ada perbedaan sosial, ekonomi, budaya, dan tingkat keamanan. Hal ini tidak hanya menyangkut keamanan hakim itu sendiri melainkan juga keluarganya.

Kondisi tempat tinggal hakim di berbagai daerah pun mayoritas tidak memiliki pengamanan. Sebagai contoh, para hakim bahkan Ketua Pengadilan Negeri Labuan Bajo harus tinggal di kos-kosan. Ini disebabkan tidak ada rumah dinas yang disediakan. Dana negara yang tersedia untuk membayar kos-kosan tersebut juga hanya kisaran Rp900 ribu/bulan. Padahal, nilai sewa tempat tinggal sangat tinggi di wilayah Labuan Bajo. Tentu sulit mendapat hunian yang layak apalagi dengan pengamanan yang memadai. Selain itu, hakim tidak diberi sarana dan prasarana untuk melindungi dirinya sendiri. Ketua Pengadilan saja tidak memiliki anggota keamanan khusus untuk melindungi dirinya beserta keluarga.

Berdasarkan hasil survei dari 120 satuan kerja hakim di seluruh Indonesia, 59% responden pernah mengalami ancaman keamanan. Sementara itu, 38,5% mengalami bahaya keamanan. Ancaman keamanan ini mulai dari pembunuhan, guna-guna (magis), perusakan kantor, hingga pemerkosaan. Bahaya keamanan yang sudah dialami mulai dari didatangi ke rumah tinggal, penembakan kaca jendela rumah tinggal dengan senapan angin, kendaraan dilempar batu, kantor dikepung lalu hakimnya dikejar massa, hingga kantor pengadilan dibakar.

Masih banyak lagi ancaman dan bahaya keamanan yang dialami hakim Indonesia selain yang tercatat dalam survei. Kasus yang pernah diliput media adalah terbunuhnya Hakim Agung Syarifuddin Kartasasmita pada tahun 2001 dan Hakim Pengadilan Agama Sidoarjo M. Taufiq pada tahun 2015. Begitu juga aksi penyerangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2019. Masih banyak kejadian lain yang tidak disorot liputan media karena tidak patut untuk diberitakan seperti ketika hakim perempuan mendapat ancaman pemerkosaan.

Survei juga menunjukkan lokasi berisiko keamanan terjadi baik di dalam maupun luar lingkungan kantor. Pihak yang menjadi sasaran adalah hakim itu sendiri, keluarganya, dan pegawai pengadilan. Risiko keamanan ini tidak hanya terjadi pada hakim dalam perkara yang menarik perhatian masyarakat. Risiko ada pada semua perkara yang ditangani. Segala ancaman dan bahaya itu bertujuan memengaruhi putusan hakim. Tentu saja ini mengancam independensi peradilan.

Ancaman dan bahaya keamanan juga berdampak terhadap psikis hakim meski tidak ditujukan langsung pada dirinya. Survei menunjukan 58% ancaman terhadap rekan kerja memengaruhi psikis hakim lainnya. Ada dampak meluas dari ancaman dan bahaya keamanan kepada hakim. Setidaknya 91% responden berpendapat bahwa jaminan keamanan hakim saat ini tidak memadai. Alasan terbanyak menyebutkan belum ada realisasi bentuk keamanan yang jelas. Tidak ada aparat keamanan terlatih yang ditugaskan baik di pengadilan maupun rumah dinas.

Sering kita lihat aparat kepolisian atau militer melakukan pengamanan khusus di pengadilan. Namun, perlu diketahui bahwa ada biaya tambahan yang anggarannya sangat terbatas di setiap pengadilan. Hal ini menyebabkan penyediaan keamanan menjadi sulit ketika anggarannya habis. Itu pun tidak semua penanganan perkara mendapatkan pengamanan yang mumpuni. Pengamanan khusus hanya untuk perkara yang menarik perhatian saja.

Kondisi Ideal

Kondisi ideal bagi jaminan keamanan hakim dapat diketahui dengan mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang ada. Perbandingan dilakukan dengan pengalaman Amerika Serikat dan Belanda. Pasal 48 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) menyatakan bahwa keamanan hakim dijamin oleh negara. Penjelasannya menyebut bahwa hakim diberi penjagaan dalam menghadiri dan memimpin persidangan oleh kepolisian. Hal ini bertujuan agar hakim dapat memutus perkara dengan baik dan benar tanpa ada tekanan. Selanjutnya Pasal 7 PP No.94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas yang Berada di bawah Mahkamah Agung (PP 94/2012) memperluas perlindungan hakim termasuk kepada keluarganya. Pihak yang melakukan pengamanan juga diperluas selain kepolisian juga oleh petugas keamanan lainnya (meski tidak disebut siapa petugas yang dimaksud). Namun, mengenai bagaimana teknis pengamanan yang diberikan tidak diatur lebih lanjut dalam kedua peraturan itu.

Teknis yang lebih lanjut sempat hampir diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung No.5 jo. No.6 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Peradilan (Perma 5/2020). Namun, isinya memiliki lingkup yang sangat terbatas alih-alih memberikan jaminan keamanan yang menyeluruh kepada hakim. Hal ini setidaknya karena tiga hal.

Pertama, Perma ini tidak mengatur mengenai jaminan keamanan hakim dan keluarganya. Perma ini lebih menekankan kepada protokol keamanan hakim pada saat persidangan. Hal ini terlihat pada Pasal 1 angka 12 Perma 5/2020 menyebutkan bahwa protokol keamanan diberikan oleh Satuan Pengamanan Pengadilan yang dibentuk Pengadilan Sendiri yang pada pelaksanaannya dilakukan oleh pegawai honorer. Kedua, Perma ini menitikberatkan perlindungan hakim hanya pada perkara tertentu saja, terutama terorisme. Hal ini tercermin dalam konsideransnya yang mencantumkan peraturan pemerintah mengenai perlindungan dalam perkara terorisme. Ketiga, Perma ini seperti tidak memiliki daya ikat pada pihak eksternal Mahkamah Agung. Isinya tidak bersifat mengisi kekosongan hukum acara sebagaimana amanat Pasal 79 UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Tidak ada kewajiban hukum bagi Polri, TNI atau BNPT untuk melaksanakan kewajiban berdasarkan Perma ini. Pada akhirnya hingga kini realisasi Perma 5/2020 masih sangat minim.

Beban ini seharusnya dipikul oleh negara, bukan hanya Mahkamah Agung. Masalah jaminan keamanan merupakan kewajiban negara yang diamanatkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan PP 94/2012. Mari menengok ke Belanda sebagai perbandingan. Administrasi badan peradilan di Belanda dikelola oleh Minister of Justice and Security yang juga membawahi kepolisian. Dengan demikian, masalah keamanan hakim ini dikoordinasikan langsung oleh kementerian tersebut. Pemerintah Belanda juga sedang mempertimbangkan pemberianinsentif kepada hakim yang menangani perkara berisiko, termasuk pemberian bantuan kesehatan mental.

Di Amerika Serikat, sistem keamanan terhadap hakim terbagi dua yakni pada pengadilan federal dan pada pengadilan negara bagian. Keamanan pada pengadilan federal dilakukan oleh United States Marshals Service (USMS). Lingkup dari keamanan ini baik di dalam maupun di luar pengadilan, termasuk keamanan kediaman pribadi hakim. USMS berada dalam U.S Department of Justice (U.S. DOJ) yang juga membawahi penegakan hukum federal dan administrasinya. USMS mendapatkanalokasi anggaran untuk program ini dari pemerintah federal dengan mengajukannya kepada Kongres. Sementara itu, keamanan pada state court dilakukan oleh masing-masing negara bagian. Setiap negara bagian secara umum sudah memiliki aturan khusus untuk tindak pidana yang membahayakan keamanan hakim dan keluarganya.

Perlu diakui kondisi hukum di Indonesia dan luar negeri sangat berbeda. Namun, secara garis besar dapat kita lihat bahwa keamanan badan peradilan tidak hanya dibebankan kepada lembaga yudikatif itu sendiri. Terlihat praktik kerja sama yang dilakukan eksekutif (Minister of Justice and Security di Belanda dan U.S. DoJ) dan legislatif (pada negara bagian US, serta mengenai anggaran USMS). Praktik baik ini sejalan dengan United NationBasic Principles on the Independence of the Judiciary yang telah disinggung sebelumnya. Intinya, independensi peradilan ditunjang pelaksanaannya oleh setiap cabang dari kekuasaan.

Solusi

Dengan demikian, diperlukan suatu peraturan khusus keamanan hakim selevel peraturan pemerintah yang mampu mengikat pihak eksternal Mahkamah Agung. Dalam peraturan ini perlu diatur tiga hal. Pertama, prinsip bahwa keamanan hakim dan keluarganya dijamin negara. Jaminan ini baik di dalam maupun di luar persidangan, termasuk pada tempat tinggal hakim dan keluarganya. Kedua, mengatur mengenai pihak pelaksana dan teknis jaminan keamanan terhadap hakim. Lembaga khusus pengamanan hakim bisa dibentuk termasuk Polisi Khusus Pengadilan. Harus ada pemberian keamanan untuk seluruh pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Ketiga, mengenai anggaran berkaitan dengan sarana dan prasarana jaminan keamanan terhadap hakim. Anggaran harus ditetapkan secara tegas karena dalam setiap aspek peradilan harus dapat menjaga independensinya.

Tentu butuh proses panjang untuk dapat mewujudkan hal di atas. Dalam jangka pendek, keamanan hakim ini dapat dilakukan dengan alternatif kerja sama secara langsung antara Mahkamah Agung dengan Polri dan/atau TNI. Alternatif ini dapat dituangkan dalam bentuk MoU antara Mahkamah Agung dan Polri dan/atau TNI. MoU ini kemudian menjadi dasar satuan kerja di daerah melakukan MoU serupa antara Pengadilan dengan Polres dan/atau Kodim setempat. MoU tersebut berisi mengenai teknis perlindungan terhadap hakim sebagai tindak lanjut protokol keamanan dalam Perma 5/2020.

Bagikan