Publikasi
Opini

Menjaga Api Nurani di Tengah Badai
Di tengah gelombang kekecewaan publik terhadap dugaan suap yang menyeret hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, kita memang bisa memilih untuk marah. Bahkan sangat wajar bila merasa muak, marah, dan kecewa. Hal demikian tidak hanya dirasa oleh masyarakat secara umum yang kian mengekspresikan rasa muak, marah dan kecewa dengan konten video, komik, karikatur yang mengandung satir hingga dapat dipersepsikan penghinaan peradilan bagi sebagian orang. Perasaan demikian juga dirasakan oleh hakim dan aparatur peradilan yang masih berusaha dan mengupayakan melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan amanah dan di jalur dharma. Tapi ada satu pilihan lagi yang mungkin lebih sulit, tapi sangat penting: tetap percaya.
Percaya bahwa profesi ini belum mati. Bahwa integritas belum benar-benar musnah. Bahwa masih ada hakim yang menjadikan palu bukan alat transaksi, tapi simbol keberanian moral. Ya, kita harus jujur mengakui: peristiwa ini adalah luka. Luka dalam, karena menyerang jantung dari penegakan hukum itu sendiri. Manakala hakim nol tahun sudah mulai biasa menolak suap hingga gratifikasi atas nama tuntutan kode etik profesi dan moralitas nurani. Tapi dari luka itulah, kadang semangat yang lama tertidur bisa terbangun. Api nurani bisa kembali menyala. Di tengah bara sinisme publik, para hakim yang masih setia menjaga integritasnya adalah harapan terakhir. Mereka yang tidak viral, tidak ramai dibicarakan, tapi tiap hari memeriksa perkara dengan jujur, pulang ke rumah dengan kepala tegak dan tidur dengan hati damai.
Bukan Sekadar Profesi
Menjadi hakim bukanlah sekadar pekerjaan. Ia adalah amanah. Ia menuntut bukan hanya kecerdasan hukum, tapi kebeningan hati (nurani). Bukan hanya pengetahuan, tapi juga keberanian untuk tidak tunduk pada tekanan. Dalam setiap putusan, ada hidup orang lain yang ditentukan. Ada harapan masyarakat yang digantungkan. Dan bagi mereka yang masih memegang teguh prinsip itu, peristiwa ini bukan alasan untuk putus asa. Justru sebaliknya ini adalah panggilan untuk tampil lebih terang. Karena semakin gelap ruangan, semakin dibutuhkan cahaya. Berhenti hanya mengutuk kegelapan dan mari bersama-sama kita nyalakan lilin-lilin penerang. Bekerja dengan integritas dan profesionalitas. Kemudian publikasikan! Lakukan secara konsisten, konsekuen dan masif.
Menghidupkan Kultur Integritas
Pemberantasan korupsi di pengadilan tidak cukup dengan operasi tangkap tangan. Yang dibutuhkan adalah perubahan kultur. Sebuah atmosfer yang membuat jujur itu mudah dan menyimpang itu malu. Dan perubahan kultur dimulai dari keteladanan. Ketika satu hakim hidup sederhana dan bersih, ia sedang mengirim pesan sunyi yang kuat. Bahwa jabatan tinggi tidak harus identik dengan kekuasaan yang diselewengkan. Bahwa kehormatan bukan dibangun dari fasilitas, tapi dari integritas. Kita tidak bisa terus-menerus membakar semangat publik dengan hanya menyalahkan oknum. Kita juga perlu merayakan dan menjaga mereka yang tetap setia. Karena hanya dengan merawat yang masih baik, sistem bisa pulih. Masih banyak sosok pimpinan, ketua pengadilan hingga hakim yang mengedepankan hati nurani dalam mengadili sekalipun dalam himpitan ekonomi.
Tidak ada yang kebal dari godaan. Bahkan hakim yang biasa disebut Wakil Tuhan pun senyatanya adalah manusia biasa. Tapi di titik inilah pentingnya ekosistem yang saling menguatkan. Kolega yang saling menjaga. Pimpinan yang tegas tapi merangkul. Media yang kritis tapi juga adil. Dan masyarakat yang berani mengapresiasi, bukan hanya mencaci. Kita bukan hanya penonton dalam drama integritas. Kita bagian dari panggung. Maka saat satu aktor jatuh, yang lain harus bangkit. Menjaga cerita ini tetap utuh. Menolak akhir yang muram. Agar kepercayaan masyarakat segera pulih, peradilan bersih harus melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya, bukan sekedar membuat pelaporan secara daring tapi beri penghargaan bagi mereka yang berhasil menemukan dan membuktikan penegak hukum yang amoral.
Sebaliknya secara internal, secara berjenjang pimpinan harus memberikan sanksi tegas kepada hakim yang berbuat tercela hingga melakukan perbuatan melanggar hukum. Berikan pula reward bagi pelaporan internal (whistle blowing system), dorong pelaporan internal secara masif dan jangan ada ketakutan seakan pemimpin dianggap gagal jika ada pelaporan internal hingga penindakan tegas yang dilakukan secara internal, pola pikirnya harus dibuat sebaliknya pembersihan secara internal adalah bagian dari keberhasilan pimpinan satker dalam mengimplementasikan pembinaan-pembinaan pimpinan Mahkamah Agung RI yang senantiasa menyatakan pada pokoknya apabila tidak bisa dibina, maka dibinasakan.
Mewarisi Semangat, Bukan Sekadar Nama
Nama-nama besar seperti Artidjo Alkostar bukan hanya untuk dikenang, tapi diteladani. Bukan untuk mengkultuskan masa lalu, tapi untuk memompa semangat baru. Agar Pengadilan Tipikor tetap menjadi barisan depan dalam perang melawan korupsi. Kalau satu palu dijual, masih ada seribu palu lain yang tetap dijaga. Kalau satu toga ternoda, masih banyak toga lain yang disulam dengan kejujuran, dan pengorbanan. Peradilan memang sedang diuji. Tapi justru di sinilah kesempatan kita untuk kembali bertanya: apa makna menjadi hakim? Jika jawabannya masih melayani keadilan, maka kita belum kalah.