Solidaritas Hakim Indonesia

Publikasi

Opini

Penangguhan Penghukuman Terhadap Terpidana Perempuan Hamil atau Menyusui/Memiliki Anak

Penangguhan Penghukuman Terhadap Terpidana Perempuan Hamil atau Menyusui/Memiliki Anak

Dipublikasikan oleh Fitriani pada 9 Juni 2025

Tergelitik dengan peran ganda perempuan dalam rumah tangga dan masyarakat, penulis beranggapan bahwa perhatian terhadap terpidana perempuan tidak hanya dengan memberikan hak-hak yang sama dalam perlakuan di hadapan hukum sebelum memperoleh keputusan terhadap perkaranya, melainkan harus diperhatikan pula bagaimana pola yang harus diterapkan terhadap komponen lain yang mengikut di belakangnya berkenaan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana perempuan tersebut.

Dalam interaksi sosial, perspektif perempuan terbagi menjadi dua, pertama, perempuan dalam prespektif gender, yakni konstruksi sosial dalam cara pandang bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran, tanggung jawab, kebutuhan, pengalaman, kondisi yang berbeda yang perlu dipertimbangkan dalam berfikir, bersikap dan bertindak. Kedua, perempuan dalam perspektif kodrat, yaitu karakteristik biologis yang terkait dengan reproduksi, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui.

Namun, kodrat perempuan juga dapat diartikan secara lebih luas, yaitu sebagai kemampuan dan kualitas perempuan. Mengapa pembedaan tersebut dapat terjadi? Hal ini tidak lain karena konstruksi sosial yang berkembang dan hidup dalam masyarakat selalu mengalami perubahan. Selain peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat, tetapi posisi dan peran antara perempuan dan laki-laki dianggap mengakibatkan ketimpangan relasi antara perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.

Dalam Buku saku pedoman mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum (PBDH) yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Indonesia menyebutkan bahwa pembedaan karakteristik, posisi dan peran yang dilekatkan masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki terjadi akibat konstruksi sosial yang berkembang dan hidup dalam masyarakat. Di mana konsep gender bersifat tidak tetap, berubah-ubah serta dapat dialihkan dan dipertukarkan menurut waktu, tempat, keyakinan dan budaya masyarakat.

Akibat konsep gender bersifat tidak tetap, berubah-ubah serta dapat dialihkan dan dipertukarkan menurut waktu, tempat, keyakinan dan budaya masyarakat, maka perspektif gender dalam penerapan penjatuhan pidana terhadap terpidana perempuan dapat pula dipertimbangkan menurut kepentingan lain yang melekat pada terpidana perempuan yang secara bersamaan melekat pada dirinya, misalnya kepentingan anak terpidana perempuan yang masih berusia di bawah tiga tahun.

Perempuan dalam Lapas

Dalam perkembangannya, menurut data BPS tahun 2022 jumlah orang tua tunggal di Indonesia didominasi oleh perempuan yang mencapai 7,9 juta jiwa, sedangkan orang tua laki-laki tunggal sejumlah 2,7 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan sebagai ibu sekaligus berperan sebagai ayah dalam keluarga lebih besar dari peran laki-laki sebagai ibu sekaligus ayah. Berdasarkan data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada tahun 2023 jumlah narapidana perempuan mencapai jumlah 10.013 orang atau sekitar 4,8 persen dari total narapidana. Akan tetapi data mengenai narapidana perempuan yang memiliki anak di bawah tiga tahun masih belum penulis diketahui.

Dalam perspektif gender, penerapan dan pelaksanaan pidana baik terhadap terpidana laki-laki ataupun terpidana perempuan harus segera dilaksanakan (dieksekusi) setelah putusan diucapkan hakim di muka persidangan yang terbuka untuk umum. Namun, bagi penulis, yang menjadi permasalah adalah dari sekitar 526 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang ada di Indonesia, terdapat hanya 32 lapas yang diperuntukkan khusus untuk terpidana perempuan. Bahkan di beberapa daerah, terpidana perempuan masih dititipkan di lapas dewasa (laki-laki). Sebagaimana diketahui bahwa kapasitas lapas hanya diperuntukkan bagi narapidana sejumlah 140.424 orang.

Namun, jumlah penghuni Lapas dan Rutan mencapai 265.346 orang, menyebabkan kelebihan kapasitas hingga 89%. Kalaulah keadaan tersebut dapat diistilahkan dengan “tempat yang nyaman” bagi seorang narapidana untuk menjalani hukumannya, karena tujuan utama lapas adalah untuk membina Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, dengan maksud agar mereka dapat kembali diterima dan berbaur di masyarakat, serta berperan aktif dalam pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik, kepadatan penghuni lapas tersebut justru mengakibatkan keadaan yang tidak kondusif sebagai tempat pembinaan mental seorang terpidana, khususnya terpidana perempuan yang berperan sebagai ibu yang memiliki anak balita.

Meskipun pemidanaan yang dijatuhkan kepada setiap orang adalah kewajiban yang harus diembannya sebagai bentuk pertanggujawaban pidana atas perbuatan yang dilakukannya, masih banyak terpidana perempuan yang membawa serta bayinya, atau bahkan melahirkan di lapas. Keadaan yang demikian tentu sangat tidak kondusif bagi tumbuh kembang dan kesehatan si anak.

Mengapa penulis mengatakan demikian? Karena dari beberapa lapas yang masih menempatkan terpidana perempuan dalam lapas terpidana laki-laki yang pernah penulis kunjungi, sanitasi udara dan keadaan yang sempit dimana satu kamar dengan ukuran 3 x 4 meter diisi oleh delapan hingga sepuluh orang narapidana, ditambah dengan bayi dan anak balita. Sedangkan perlengkapan si ibu dan anak masih disiapkan oleh terpidana sendiri atau berasal dari pemberian sipir secara pribadi atau dari kunjungan keluarga. Sedangkan ibunya menjalahi hukuman lebih dari satu tahun. Sangat miris sekali.

Penangguhan Penghukuman Demi Kepentingan Anak

Suatu keadaan atau pemikiran dapat menjadi populer apabila keadaan dan pemikiran tersebut sesuai dengan kebutuhan keadaan saat ini. Akan tetapi apabila keadaan tersebut sudah lewat atau belum pernah terjadi akan menjadi tidak populer untuk dipikirkan atau dijadikan sebagai rujukan untuk mengambil sebuah tindakan. Sebagai contoh, sebuah kisah yang pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, dimana seorang wanita dari Juhainah yang datang kepada Rasulullah SAW dalam keadaan hamil karena berzina.

Ia berkata, "Wahai Rasulullah! Aku telah melanggar had (batas), maka tegakkanlah had (hukuman) terhadapku, kemudian Rasulullah SAW memanggil salah seorang walinya. Beliau berkata, "Perlakukan dia dengan baik. Jika ia telah melahirkan maka bawalah dia kepadaku." Selanjutnya setelah perempuan tersebut melahirkan bayinya, perempuan itu datang kembali kepada Rasulullah SAW untuk meminta dijatuhi hukuman, akan tetapi Rasulullah kembali memintanya pulang dan menyuruh walinya untuk memperlakukannya dengan baik sampai ia selesai menyusui anaknya dalam usia dua tahun. Kemudian, setelah anak perempuan itu selesai menyusui (disapih) perempuan itu datang kembali kepada Rasulullah SAW untuk minta dijatuhi hukuman atas perbuatannya, Rasulullah menanyakan tentang hak anaknya, dan perempuan tersebut menyatakan sudah menyelesaikannya, barulah Rasulullah SAW menghukum perempuan tersebut. syarat penghukuman yang demikian akan nampak tidak populer lagi pada masa kini. Hal ini dikarenakan bahwa kejadian tersebut berlaku pada masa Rasulullah SAW, Indonesia bukan Negara Islam dan tidak sepenuhnya menerapkan hukum islam, Indonesia memiliki sistem hukum sendiri yang mengatur tentang penghukuman.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender.

Selanutnya dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, tidak hanya harus dimaknai sebagaimana konsiderans an sich, melainkan harus pula dimaknai sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak anak yang menjadi bagian dari imbas perbuatan pidana orang tuanya yang sudah sepatutnya tidak dirasakan pula oleh si anak.

Merujuk pada Pasal 1 angka 8 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum menyebutkan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah segala pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Definisi tersebut diartikan bahwa akses seorang perempuan untuk memperoleh status hukum tidak boleh dihalangi oleh suatu keadaan apapun baik dengan dalih apapun (imparsial). Hal ini bertujuan bahwa perlakuan terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum adalah untuk memastikan dan menerapkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, asas non diskriminasi, asas Kesetaraan Gender, asas persamaan di depan hukum, asas keadilan, asas kemanfaatan, dan asas kepastian hukum, mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara sehingga mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin hak perernpuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan (Pasal 2 dan Pasal 3).

Kesimpulan

Berdasarkan apa yang telah penulis urai di atas, sangat patut untuk dikaji kembali untuk menerapkan penangguhan menjalani hukuman terhadap terpidana perempuan, terkhusus perempuan hamil atau yang memiliki anak balita/bayi pada saat putusan diucapkan dengan ketentuan apabila anak yang dimiliki oleh terpidana perempuan telah berusia maksimal 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan si perempuan tidak boleh memiliki anak setelah kelahiran anak tersebut, maka terpidana perempuan diwajibkan menjalani hukumannya sebagaimana yang ditentukan dalam amar putusan hakim.

Namun demikian, untuk menghindari hamil melahirkan atau memiliki anak batita dijadikan sebagai cara untuk tidak menjalani hukuman bagi terpidana perempuan, maka hukuman terhadap terpidana perempuan yang hamil/melahirkan/memiliki anak pada saat putusan dibacakan, ditambah sepertiga dari hukuman yang dijatuhkan dan mulai dijalani oleh terpidana setelah anak yang dilahirkan terakhir mencapai usia maksimal 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan.

Hal lain yang wajib diperhatikan adalah, meskipun keadaan lembaga pemasyarakatan yang umumnya ada di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi kapasitas untuk dihuni oleh terpidana, bahkan lapas khusus perempuan pun masih tidak memadai, maka Negara harus memastikan bahwa suasana lapas harus memenuhi kapasitas sebagai lapas ramah perempuan dan anak dengan melengkapi fasilitas untuk ibu dan anak. Meski aturan ini tidak populer saat ini, namun akibat perubahan konstruksi sosial dalam masyarakat bisa saja wacana tersebut menjadi populer suatu saat nanti.

Bagikan