Solidaritas Hakim Indonesia

Publikasi

Opini

Peradilan Sebagai Sekolah Keadilan

Peradilan Sebagai Sekolah Keadilan

Dipublikasikan oleh Iqbal Lazuardi pada 15 Mei 2025

Tanggal 2 Mei adalah momen penting bagi bangsa Indonesia, karena hari ini kita memperingati kelahiran seorang tokoh pendidikan yang menjadi pelopor kemajuan bangsa yakni Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Sebagai tokoh yang memandang pendidikan sebagai pilar utama dalam membangun bangsa, ia menggagas pemahaman bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai kebebasan, martabat, dan kemerdekaan sejati. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan tidak hanya bertujuan untuk mengajarkan keterampilan dan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan.

Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan. Ia berkata: “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter), pikiran (intelektual), dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.” (kutipan ini diambil dari liputan6.com) Pemikiran ini masih sangat relevan, bahkan dalam konteks peradilan dan profesi hakim.

Dalam perspektif inilah, kita dapat memandang ruang pengadilan sebagai sebuah "sekolah keadilan" tempat di mana masyarakat belajar tentang nilai, norma, tanggung jawab, dan moralitas hukum melalui proses peradilan.

Hari Pendidikan Nasional sepatutnya tidak hanya dirayakan oleh para guru dan pelajar di ruang-ruang kelas, tetapi juga direnungkan oleh kita para penegak hukum, khususnya hakim. Sebab pada dasarnya, profesi hakim pun mengandung dimensi pendidikan.

Hakim sebagai Pendidik dalam Sekolah Keadilan

Sebagai seorang hakim, kita tidak hanya berfungsi sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pengajar nilai dalam "kelas peradilan". Setiap putusan yang kita keluarkan, setiap pertimbangan yang kita rumuskan, dan bahkan setiap sikap yang kita tunjukkan di depan sidang, adalah bagian dari pendidikan bagi masyarakat. Dalam konteks ini, hukum menjadi sarana pendidikan yang tidak hanya mengedepankan aspek keadilan, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral dan etika yang mendalam.

Layaknya guru yang mengajarkan etika dan tanggung jawab, hakim pun menjalankan peran serupa yakni memberikan pelajaran hidup melalui putusan yang adil, bijaksana dan berlandaskan nurani. Karena setiap langkah yang kita ambil dalam persidangan menjadi pelajaran yang diajarkan kepada publik tentang apa yang benar dan adil.

Dengan demikian, seorang hakim yang bijak adalah seorang pendidik yang tidak hanya mendidik melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan nyata. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menerapkan prinsip "Ing ngarsa sung tuladha", memberikan teladan yang baik bagi masyarakat; "Ing madya mangun karsa", membangun semangat dan kesadaran hukum yang lebih baik di tengah masyarakat; dan "Tut wuri handayani", memberikan dorongan agar masyarakat senantiasa berjuang untuk keadilan dan kebenaran.

Di ruang sidang, kita adalah guru. Di hadapan masyarakat, kita adalah panutan. Di antara para pencari keadilan, kita adalah pembimbing. Maka, peradilan bukan sekedar tempat mengadili, melainkan juga tempat untuk mendidik masyarakat untuk menghargai keadilan.

Tantangan Hakim di Era Modern adalah Menjaga Pendidikan Hukum yang Berkelanjutan

Di era modern yang serba cepat ini, profesi hakim menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Selain harus menguasai berbagai aspek hukum yang terus berkembang, kita juga harus menghadapi tantangan untuk tetap menjaga integritas dan objektivitas dalam setiap putusan yang dijatuhkan. Pendidikan bagi seorang hakim bukanlah sebuah titik akhir setelah lulus dari pendidikan formal atau lulus dari diklat calon hakim, tetapi sebuah perjalanan panjang yang terus berlanjut. Hal ini sejalan dengan konsep Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang tidak pernah berhenti.

Pendidikan yang dimaksud di sini tidak hanya berkaitan dengan penguasaan hukum, tetapi juga menyangkut kemampuan untuk memahami berbagai dimensi sosial, psikologis, dan etika yang ada dalam setiap perkara yang dihadapi.

Hakim sebagai “pendidik di sekolah keadilan” harus mampu mengajarkan bahwa hukum tidak hanya soal aturan, tetapi juga soal rasa keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dalam konteks ini, seorang Hakim tidak hanya berperan sebagai pengadil, tetapi juga sebagai pendidik moral yang mengajarkan masyarakat bagaimana keadilan dijalankan secara beradab dan bermartabat.

Integritas sebagai Pondasi Sekolah Keadilan

Integritas adalah nilai yang tak bisa ditawar dalam dunia peradilan. Sebagai seorang hakim, kita harus menjaga prinsip-prinsip keadilan tanpa pandang bulu, serta mengedepankan keberanian untuk memutuskan dengan independensi penuh. Pendidikan yang sesungguhnya dalam profesi hakim adalah pendidikan yang mengajarkan kita untuk tetap teguh pada prinsip-prinsip ini, meskipun terkadang menghadapi tekanan eksternal atau godaan yang dapat menggoyahkan tekad.

Sebagai penjaga integritas, kita sejatinya juga adalah kepala sekolah dari "sekolah keadilan" yang ditonton oleh publik. Sikap, etika, dan kebijakan kita akan menjadi kurikulum hidup bagi masyarakat yang sedang belajar mempercayai hukum.

Pendidikan yang dimaksud juga harus menyentuh sisi batiniah seorang hakim. Mengingat tugas kita yang berkaitan langsung dengan kehidupan dan nasib orang banyak, kita harus mampu menjaga keseimbangan antara profesionalisme dan empati. Oleh karena itu, pendidikan moral dan etika harus menjadi bagian integral dari pelatihan seorang hakim. Ketegasan dalam memutuskan perkara harus dibarengi dengan rasa keadilan yang mendalam, serta pengertian bahwa setiap keputusan yang kita ambil tidak hanya mempengaruhi pihak yang berperkara, tetapi juga mencerminkan wajah hukum di mata masyarakat.

Hari Pendidikan Nasional merupakan Refleksi Bagi Sekolah Keadilan

Hari Pendidikan Nasional ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa pendidikan tidak hanya merupakan tugas guru atau dosen di ruang kelas, tetapi juga menjadi tanggung jawab kita sebagai hakim untuk selalu berusaha menjadi teladan dalam setiap keputusan dan tindakan kita. Ruang sidang mungkin tidak memiliki papan tulis, namun setiap putusan adalah pelajaran. Tidak ada ujian tertulis, tetapi kepercayaan publik adalah penilainya.

Seiring dengan semangat Ki Hadjar Dewantara yang mengajarkan kita untuk menjadi pelita bagi peradaban, kita sebagai hakim juga dituntut untuk menjadi agen perubahan yang tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mendidik dan membimbing masyarakat ke arah yang lebih baik.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025. Semoga semangat Ki Hadjar Dewantara yang mengajarkan kita untuk mengabdi pada pendidikan dan keadilan senantiasa hidup dalam setiap langkah kita sebagai hakim. Mari kita terus menjadikan peradilan sebagai sekolah keadilan, tempat dimana masyarakat tidak hanya melihat hukum ditegakkan, tetapi juga belajar bagaimana keadilan dijaga dengan hati dan nurani.

Bagikan