Publikasi
Opini

Perlawanan Terhadap Penetapan Hakim Dalam Proses Perkara Pidana
Berdasarkan ketentuan sebagaimana ternyata dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang telah diamandemen dan Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Hukum acara yang digunakan pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung terdiri dari tiga, yaitu hukum acara pidana, hukum acara perdata, dan hukum acara administrasi yang tetap menjadi rujukan beracara pada pengadilan umum, pengadilan pidana, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan militer. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa pengadilan adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum yang mana pada tingkatan tersebut hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata dan hukum acara pidana.
Adapun prosedur masuk ke dalam hukum acara perdata dilakukan melalui dua cara, yaitu permohonan dan gugatan. Perkara permohonan dalam pengertian yurisdiksi voluntair (tidak mengandung sengketa/konflik antar pihak) yang diakhiri dengan sebuah penetapan. Sedangkan terhadap gugatan (perkara contentiosa) terdapat pihak lain yang ditarik oleh pengaju gugatan (Penggugat) yaitu Tergugat dan produk akhirnya adalah Putusan.
Prosedur hukum acara pidana di pengadilan dimulai dengan pelimpahan berkas perkara oleh penuntut umum untuk dilakukan penuntutan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya. Jika terbukti bersalah maka dihukum, atau jika tidak terbukti akan dibebaskan dan jika ternyata melakukan perbuatan namun bukan tindak pidana, maka akan lepas dari tuntutan hukum. Proses akhir dari suatu hukum acara yang berlaku di pengadilan menerbitkan dua produk pengadilan yang bersumber dari hasil mengadili suatu perkara oleh hakim atau majelis hakim, yaitu penetapan dan putusan. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini perihal perlawanan yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap Penetapan yang diterbitkan oleh Majelis Hakim. Tulisan ini akan membahas aspek hukum formil dan substansial dari perlawanan tersebut serta posisi perlawanan terhadap penetapan hakim dalam hukum acara pidana.
Perbedaan Penetapan dan Putusan Dalam Perkara Pidana
Pada lingkungan peradilan umum, suatu putusan ataupun penetapan yang diterbitkan merupakan produk pengadilan. Putusan sebagaimana yang telah disebutkan di atas bersumber dari penyelesaian perkara tentang terbukti atau tidaknya seseorang melakukan tindak pidana yang terhadapnya dapat dilakukan upaya hukum biasa berupa banding dan kasasi serta upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali. Kecuali Putusan Praperadilan, sesuai dengan Putusan Mahkamah Kinstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011 tanggal 1 Mei 2012, terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.
Selain putusan dan penetapan yang bersumber dari adanya penyelesaian perkara tersebut, baik gugatan maupun permohonan, terdapat pula produk pengadilan lainnya yang bukan bersumber dari mengadili pokok perkara, yaitu penetapan-penetapan berkaitan dengan administrasi perkara. Dalam prosedur perkara pidana misalnya: penetapan hari sidang, penetapan penahanan/perpanjangan penahanan, penetapan pengalihan atau penangguhan penahanan, dan lain-lain.
Dalam prosedur perkara perdata, penetapan hari sidang, penetapan pemanggilan para pihak, penetapan penyitaan, penetapan-penetapan dalam eksekusi (aanmaning, penetapan appraisal (penilai publik), penetapan konstatering), dan lainnya. Terhadap penetapan demikian undang-undang tidak memberikan upaya hukum dalam bentuk apapun kepada siapapun. Artinya penetapan yang demikian harus dilaksanakan bagi siapa saja untuk melakukan apa saja yang ditentukan dalam isi penetapan tersebut.
Perlawanan Terhadap Penetapan Perintah Hakim Dalam Proses Persidangan Pidana
Berdasarkan Pasal 1 angka 12 KUHAP yang menyebutkan bahwa upaya hukum adalah hak Terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan Pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan peninjauan kembali. Selanjutnya Pasal 214 ayat (4) KUHAP menyebutkan pula bahwa dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya Terdakwa dan putusan itu berupa perampasan kemerdekaan, Terdakwa dapat mengajukan perlawanan. Kemudian, Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP dan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan bahwa Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 14 huruf j KUHAP dengan menyebutkan bahwa Penuntut Umum mempunyai wewenang melaksanakan penetapan hakim (vide Pasal 1 angka 18 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor Perk-036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Pidana Umum). Selain kewenangan tersebut di atas, di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (vide Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia). Dalam penjelasan pasal-pasal tersebut tidak terdapat interpretasi terhadap ketentuan penetapan atau putusan dimaksud.
M. Karjadi dan R. Soesilo dalam komentarnya terhadap Pasal 214 menegaskan bahwa upaya perlawanan dalam perkara pidana perampasan barang bukti hanya diberikan kepada Terdakwa yang tidak hadir pada saat pembacaan putusan. Kemudian Putusan Mahkamah Agung Nomor 727 K/KR/1981 tanggal 19 September 1981 menyebutkan bahwa “pemeriksaan suatu verset (perlawanan) terhadap putusan verstek tidak dapat ditujukan tanpa sebab-sebab dan alasan-alasan Terdakwa tidak datang pada sidang yang bersangkutan. Pengadilan harus memeriksa pokok perkaranya kembali dan mengambil keputusan tentang itu”.
Demikian pula Yahya Harahap menjelaskan bahwa apabila Terpidana mengajukan perlawanan dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam Pasal 214 ayat (5), menurut ketentuan Pasal 214 ayat (6), dengan sendirinya mengakibatkan putusan verstek menjadi gugur dan perkara kembali kepada keadaan semula, seolah-olah perkara tersebut belum pernah diperiksa di sidang pengadilan. Sehingga status terpidana pulih kembali menjadi status terdakwa.
Pasal 195 ayat (6) HIR menyebutkan bahwa “jika pelaksanaan keputusan itu dilawan, juga perlawanan itu dilakukan oleh orang lain yang mengakui barang yang disita itu sebagai miliknya, maka hal itu serta segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan itu, diajukan kepada dan diputuskan oleh pengadilan negeri yang dalam daerah hukimnya harus dilaksanakan keputusan itu. itu, tiap dua kali dua puluh.” Umumnya ketentuan ini dijadikan pedoman dalam eksekusi dalam perkara perdata, namun menurut penulis ketentuan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan pula dalam pelaksanaan putusan perkara pidana, yang mana menurut ketentuan ini, yang berhak mengajukan perlawanan hanya orang pihak ketiga yang beritikat baik berkenaan dengan status barang bukti yang dirampas untuk negara yang tertuang dalam amar putusan sedangkan barang bukti tersebut bukan hasil tindak pidana, bukan milik Terdakwa meskipun digunakan dalam tindak pidana tanpa seizin pemiliknya yang sah.
Di luar KUHAP, ketentuan Pasal 101 ayat (2) UU Narkotika, Pasal 19 ayat (2) UU Tipikor memberikan hak kepada pihak ketiga yang beritikad baik untuk melakukan perlawanan dalam hal barang bukti yang ditentukan statusnya oleh putusan pengadilan pidana dirampas untuk negara dapat mengajukan keberatan (perlawanan).
Selanjutnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 50 K/KR/1977 tanggal 19 November 1977 dalam kaidahnya mempertimbangkan bahwa Perlawanan terhadap Penetapan Pengadilan Negeri yang dapat diajukan oleh Jaksa terbatas pada penetapan-penetapan berdasarkan Pasal 247 ayat (1) HIR mengenai kompetensi relatif dan Pasal 250 ayat (3) mengenai penolakan untuk melimpahkan perkara ke persidangan dan tidak meliputi penetapan-penetapan perpanjangan tahanan. Selain itu juga dipertimbangkan requisitoir verzet hanya dapat diajukan oleh Jaksa Tinggi, apabila sebelumnya ada pernyataan perlawanan oleh Jaksa terhadap penetapan Pengadilan Negeri.
Artinya, dalam perkara pidana yang diatur di dalam KUHAP maupun yang diatur di luar KUHAP serta yurisprudensi Mahkamah Agung, bentuk perlawanan dapat diajukan oleh Penuntut Umum adalah terhadap Putusan Hakim Pengadilan Tingkat Pertama berkenaan dengan materi penyelesaian perkara tentang terbukti atau tidaknya tertuduh, yaitu melalui upaya hukum banding, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 KUHAP.
Sedangkan perlawanan terhadap putusan praperadilan tidak disediakan upaya hukum apapun. Sehingga menjadi kesimpulan bahwa bentuk penetapan lainnya yang diterbitkan oleh hakim berkenaan dengan administrasi perkara, penetapan penahanan, pengalihan penahanan, dan penangguhan penahanan tidak diberikan kewenangan kepada Penuntut Umum atau kepada Terdakwa untuk melakukan perlawanan dalam bentuk apapun, selain melaksanakan isi dari penetapan tersebut. Secara a contrario tidak dilaksanakannya penetapan Hakim/Majelis Hakim dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap hukum itu sendiri (perbuatan melawan hukum), bentuk penyalahgunaan kekuasaan hingga kesewenang-wenangan (abuse of power).
Kesimpulan
Berkenaan dengan terdapatnya perbedaan persepsi dan interpretasi terhadap maksud ketentuan dalam KUHAP, maka penulis berpendapat RUU KUHAP perlu untuk menjelaskan ketentuan tentang bentuk-bentuk perlawanan yang dapat diajukan oleh Penuntut Umum, terdakwa, dan pihak ketiga yang beritikat baik dalam setiap bentuk pidana, dengan maksud agar setiap produk pengadilan pidana baik dalam bentuk penetapan atau putusan dilaksanakan oleh setiap penegak hukum.
Jika hal demikian tidak memungkinkan, dalam jangka pendek perlu ditentukan dalam sebuah norma dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, atau dalam Surat Edaran Mahkamah Agung yang isinya sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 50 K/KR/1977 tanggal 19 November 1977, sehingga dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam menangani perkara di pengadilan dan menjadi rujukan bagi aparatur penegak hukum lainnya dalam menyikapi sebuah penetapan pengadilan untuk selanjutnya dapat menertiban prosedur berperkara di persidangan dimana tidak ada lagi perlawanan terhadap penetapan hakim/majelis yang bukan merupakan putusan akhir suatu perkara.