Solidaritas Hakim Indonesia

Publikasi

Opini

Putusan Pengadilan Dalam Efisiensi Anggaran

Putusan Pengadilan Dalam Efisiensi Anggaran

Dipublikasikan oleh Fitriani pada 5 Juni 2025

Setiap warga negara yang baik dan cinta negara, tentulah akan melakukan apapun agar negaranya tetap berjalan dengan baik. Apalagi sebagai aparatur negara yang dibebani tugas pokok dan fungsi untuk menegakkan negara itu sendiri dengan menegakkan hukum dan keadilan. Adalah hakim, sebuah profesi yang kedudukannya harus tetap tegak dan berdiri meski negara hampir dan bahkan sedang menuju keruntuhan, apalagi apabila negara itu sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana mengetahui bahwa negara sedang tidak baik-baik saja? Salah satunya, pejabat pemerintahan yang menguasai negara mengambil sebanyak mungkin apa yang bisa didapat dari rakyatnya untuk keberlangsungan pemerintahan negara itu sendiri. Sebagai contoh, ketika Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pada 16 Juni 1948 datang ke Aceh dan berorasi membangkitkan jiwa nasionalisme rakyat Aceh dan meminta agar rakyat Aceh dapat memberikan sumbangan dana yang nantinya akan digunakan untuk membeli pesawat angkut pertama di Indonesia. Ialah Pesawat Dakota RI-001 Seulawah sebagai cikal bakal pesawat angkut pertama yang dimiliki oleh Indonesia sekaligus pelopor penerbangan sipil nasional, Indonesian Airways.

Saat ini keadaan mungkin terulang kembali, saat negara melakukan efisiensi angaran dan memangkas seluruh anggaran lembaga pemerintah non kementerian dan kementerian sebagaimana Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Belanjda Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatandan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 tanggal 22 Januari 2025. Mahkamah Agung, yang pada awalnya cukup merasa lega karena terhindar dari ombak efisiensi anggaran, ternyata harus “ikhlas” juga ketika akhirnya harus ikut “membela bangsa” dan merelakan anggaran sebesar Rp.2.288.121.411.000,- (dua triliun dua ratus delapan puluh delapan milyar seratus dua puluh satu juta empat ratus sebelas juta rupiah) dari total anggaran tahun 2025 sebesar Rp12.152.558.495.000,- (dua belas triliun seratus lima puluh dua milyar lima ratus lima puluh delapan juta empat ratus sembilan puluh lima ribu rupiah). Nilai tersebut tentu bukanlah jumlah kecil meskipun hanya 0,19% dari anggaran yang ada. Mengapa bukan nilai yang kecil? Karena dengan pemotongan tersebut bisa melumpuhkan jalannya pelayanan di pengadilan, karena sebagian besar anggaran yang tersisa merupakan belanja pegawai. Bahkan tiga hari kemudian dengan surat tanggal 17 Februari 2025, akhirnya anggaran mencakup hajat hidup PPNPN pun ikut tergerus demi kerelaan cinta negara.

Namun demikian, sebagai aparatur negara yang menegakkan hukum dan keadilan, sampai usaha terakhir, kalaupun tidak dihiperbola dengan istilah “sampai titik darah penghabisan”, pelayanan pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya tetap harus terlaksana sebagaimana biasanya. Selain sebagai tugas yang telah diamanahkan oleh negara/undang-undang, tanggung jawab moral terhadap pencari keadilan yang menanti putusan hakim tidak boleh ditunda.

Dalam membuat putusan/penetepan, Ketua mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 359/SK/KMA/XII/2022 tentang Template Dan Pedoman Penulisan Putusan /Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama Dan Tingkat Banding Pada Empat Lingkungan Peradilan Di Bawah Mahkamah Agung. SK tersebut walaupun masih ada beberapa hakim yang tidak sependapat dalam penggunaannya, namun dengan pemberlakuan SK tersebut pada 16 Desember 2022 seluruh putusan/penetapan pengadilan merujuk pada template tersebut tanpa kecuali.

Pertanyaannya, Apa yang salah dengan template tersebut? Tentu tidak ada yang salah. Hanya saja di tengah efisiensi anggaran saat ini, anggaran untuk belanja bahan terutama belanja ATK yang menjadi salah satu tonggak berjalannya administrasi perkara dan persidangan di pengadilan menjadi terkendala. Bahkan diperkirakan hanya akan bertahan dalam waktu 6 (enam) bulan. Bahkan di satuan kerja tertentu hanya sampai bulan kelima tahun ini. Jika dibandingkan dengan pengadilan yang perkaranya sampai ribuan atau pengadilan yang menangani perkara Tipikor atau TPPU atau perkara lain yang tidak jarang untuk dakwaan saja bisa mencapai lebih dari seratus halaman. Belum lagi keterangan saksi yang tidak kurang dari 10 (sepuluh) orang ditambah ahli, yang mana keterangan yang disampaikan di depan persidangan tersebut diramu kembali menjadi fakta-fakta di persidangan yang terkadang adalah pengulangan dari keterangan yang telah diuraikan dalam penjelasan keterangan saksi/ahli atau terdakwa/para Terdakwa. Meski sudah termuat dalam Berita Acara Penyidik dan termuat pula dalam berita Acara Persidangan secara lengkap, dalam putusan harus pula dijabarkan dengan lengkap dengan alasan bahwa dari putusan tersebut nampaklah apa yang terjadi dan terungkap di persidangan. Itu baru satu perkara. Belum lagi beberapa perkara lain yang harus dituangkan dengan format serupa dalam putusan/penetapan. Untuk satu perkara tipikor saja minimal menghabiskan satu rim kertas. Kalikan berapa jumlah kertas yang harus disiapkan untuk memenuhi kebutuhan kertas pembuatan putusan dalam ribuan perkara yang diselesaikan oleh pengadilan!

Sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, bahwa di tengah efisiensi anggaran yang tengah melanda badan peradilan, yang mana agar pemangkasan anggaran tersebut tidak menjadi kendala dalam pelaksanaan teknis di satuan kerja. Selanjutnya, pertimbangan dalam putusan yang selalu dikutip oleh hakim dengan kalimat “menimbang, bahwa untuk menyingkat putusan, maka segala sesuatu yang termuat dalam berita acara persidangan, dianggap telah termuat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari putusan ini.” Hal ini juga akan menciptakan tanggung jawab bagi Panitera pengganti dalam menyediakan materi penyusunan putusan yang lengkap dan jelas. Alangkah baiknya untuk format putusan/penetapan pada seluruh perkara pidana tidak lagi memuat tentang dakwaan, keterangan saksi/ahli, keterangan terdakwa/para terdakwa, keterangan saksi a de charge secara lengkap. Cukup identitas terdakwa, penahanan sejak awal penahanan sampai penahanan terakhir saat putusan dibacakan, menggunakan Penasihat Hukum (dengan menyebutkan nama saja) atau tidak, didakwa dengan pasal apa, pertimbangan hukum sampai dengan amar putusan dan penutup.

Selain itu, untuk menghemat penggunaan kertas, tinta, listrik, perawatan printer, dan lain-lain, penggunaan perangkat elektronik dengan tanda tangan elektronik oleh hakim/majelis hakim dan terlebih lagi, untuk menghemat tenaga dan pikiran majelis hakim dalam membuat putusan/penetapan yang sering sekali lebih banyak memakan waktu pada saat menyusun dan mengedit dakwaan, keterangan saksi/ahli, keterangan terdakwa, Saksi a de charge secara lengkap. Dan tentu saja hak pencari keadilan untuk memperoleh salinan putusannya secara lengkap dan cepat tidak terpenuhi. Sedangkan jangka waktu untuk melakukan upaya hukum terus berjalan.

Pujangga mengatakan “siapa saja yang mencinta, pasti akan rela mengorbankan apa saja bagi yang dicintainya”. Tidak terkecuali yang cinta indonesia tentu akan memberikan yang terbaik untuk bangsanya. Dan yang cinta pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya serta perangkatnya yang bekerja dengan giat di tengah dentuman efisiensi, pasti memberikan yang terbaik. Semoga kecintaan ini tidak meruntuhkan marwah pengadilan dalam memutus perkara, melainkan mempercepat, mempergiat, memudahkan perangkatnya dalam melaksanakan tugas yang diberikan dengan semangat cinta tanah air.

Bagikan