Publikasi
Opini

Ruang Sidang, Rasa Malu, dan Bau yang Tak Hilang
Ada sesuatu yang busuk dan baunya menyeruak sampai ke ruang paling sakral di peradilan: ruang sidang.
Belum ada putusan. Belum ada vonis. Tapi publik sudah menghukum. Media menggiring. Kepercayaan runtuh, dan kami-hakim lain yang tak tahu-menahu dipaksa memikul beban dosa yang belum tentu kami perbuat.
Saya tidak sedang membela siapa pun, yang benar harus dibela, dan yang bersalah harus dihukum. Tapi jangan salah urus. Belum ada keputusan hukum, maka yang tertuduh tetap manusia merdeka. Kita ini penegak hukum, bukan penggiring opini. Jangan sampai kita sendiri yang melanggar asas yang kita agung-agungkan: praduga tak bersalah.
Namun tetap saja, kita tidak bisa terus-menerus bersembunyi di balik dalil. Fakta-fakta berseliweran. Aliran dana disebut. Skenario pengkondisian majelis digambarkan. Percakapan bocor. Kode etik dilanggar. Publik marah, wajar. Karena ini bukan sekadar dugaan suap. Ini dugaan pengkhianatan terhadap keadilan itu sendiri.
Saya bicara bukan dari atas mimbar suci. Saya bicara dari ruang perenungan: apa yang sedang terjadi dengan profesi ini?
Apakah jabatan membuat kita buta? Apakah toga membuat kita merasa kebal? Kita seolah lupa: integritas hakim itu bukan soal citra. Tapi soal harga diri.
Kalau benar ada hakim yang menjual putusan dan saya tekankan: kalau benar maka itu bukan pelanggaran biasa. Itu perusakan sistemik. Itu sabotase terhadap negara hukum. Karena begitu satu hakim bisa dibeli, maka seluruh bangunan keadilan runtuh tak bersisa.
Saya muak mendengar alasan "hanya oknum." Kita sudah terlalu sering berlindung di balik kata itu. Seolah sistem ini steril. Padahal, kalau sistemnya kuat, oknum tak akan bisa bergerak bebas.
Coba jujur sebentar. Berapa banyak cerita yang kita dengar soal "pengaturan perkara"? Tentang "siapa yang akan memeriksa"? Tentang “sutradara di balik majelis”? Kita tahu cerita-cerita itu. Kita hanya pura-pura tak dengar. Diam bukan karena tak tahu, tapi karena takut ikut terbawa arus.
Tapi hari ini, arus itu sudah menjebol tanggul. Tak ada lagi tempat bersembunyi. Kita harus memilih: ikut membersihkan, atau ikut hanyut bersama kebusukan.
Saya tidak ingin profesi ini berubah jadi dagelan. Di mana ruang sidang jadi panggung sandiwara. Hakim pura-pura mendengar. Terdakwa pura-pura menyesal. Jaksa pura-pura menuntut. Dan rakyat pura-pura percaya.
Kita sedang di ujung jurang. Sekali lagi kita diam, kita akan kehilangan semuanya: kepercayaan, kehormatan, dan sejarah.
Saya tidak menulis ini karena ingin menyerang. Tapi karena saya ingin mengingatkan. Bahwa profesi ini dulu dijaga oleh orang-orang semacam Artidjo. Yang hidup bersahaja. Yang tak mau disentuh rayuan. Yang memutus dengan nyali dan nurani.
Hari ini, kita butuh lebih banyak Artidjo. Bukan lebih banyak juru damai. Kita butuh hakim yang bisa berkata “tidak” pada amplop. Yang bisa berkata “cukup” pada gaya hidup semu. Yang bisa tidur nyenyak meski tidak punya simpanan ratusan juta.
Karena kalau pengadilan sudah bisa dikendalikan oleh uang, maka tamatlah harapan rakyat kecil. Tak ada lagi tempat mengadu. Tak ada lagi keadilan. Yang tersisa cuma panggung bisu dan toga yang berubah jadi kain kafan kepercayaan publik.
Belum ada vonis. Tapi luka sudah nyata. Maka bersihkan sistem sebelum luka ini menjelma borok. Jangan tunggu busuknya menyebar. Karena jika bangkai keadilan ini tak segera dikubur, maka kita semua yang akan jadi bangkai berikutnya.