Publikasi
Opini

Saatnya Menyerang: Integritas Harus Berisik
Sudah cukup kita bertahan. Sudah cukup kita diam. Sudah terlalu sering profesi hakim dicaci maki karena ulah segelintir oknum. Kini saatnya kita, Para Hakim Indonesia tidak hanya membela diri, tetapi menyerang. Bukan menyerang dengan emosi atau pembelaan kosong, tapi menyerang dengan integritas, keteladanan dan perubahan konkret di tubuh peradilan itu sendiri.
Setiap kali seorang hakim tertangkap tangan, sorotan publik langsung tajam dan membabi buta. Seolah semua hakim sama busuknya. Padahal, mayoritas dari kita berjuang dengan jujur, berdarah-darah menyelesaikan tumpukan perkara, pulang malam, dengan gaji yang tak sebanding dan tekanan yang tak berhenti. Tapi integritas itu tidak viral. Kejujuran tidak trending. Keadilan itu sunyi tak pernah masuk berita. Maka kita tak bisa lagi pasif. Saatnya pengadilan menjadi pelopor, bukan korban. Kita tuntut perubahan dari dalam. Kita ciptakan kultur baru. Mulai dari meja kerja masing-masing.
Peradilan Bukan Menara Gading
Kita bukan dewa. Bukan pula manusia setengah dewa. Kita manusia biasa. Tapi justru karena itu, kita harus menciptakan sistem yang membuat manusia biasa bisa tetap jujur. Bibit-bibit unggul dan tunas-tunas integritas harus tetap dijaga, dirawat dan dipupuk. Jangan biarkan pengadilan jadi ruang gelap yang dipenuhi bisik-bisik dan kompromi. Buka jendela, nyalakan lampu, tunjukkan bahwa di ruang sidang, yang paling berkuasa bukan uang, tetapi nurani. Integritas tidak cukup dimiliki dalam hati. Ia harus diwujudkan dalam sikap, dalam tindakan, dalam keputusan. Jangan biarkan kolega kita berjalan ke jurang, sementara kita pura-pura tidak tahu. Bungkam solidaritas semu. Bangun keberanian kolektif.
Kita tidak saling menutupi, kita saling menjaga. Hakim itu bukan korban. Kita pelaku sejarah. Kita penentu arah bangsa. Jangan mau terus-menerus jadi tumbal opini publik. Tunjukkan bahwa masih banyak hakim yang berdiri tegak, tidak silau jabatan, tidak tunduk tekanan. Kita punya contoh. Dulu kita punya Artidjo, kini ada teladan kita semua, Prof. Sunarto, Ketua MA RI, bahkan banyak hakim muda di daerah-daerah terpencil yang tetap bersih walau hidup pas-pasan. Mereka tidak menunggu sorotan. Mereka bekerja dalam senyap. Tapi kini, diam tak lagi cukup. Integritas harus berisik!
Bangun Gerakan: Dari Kita, Oleh Kita, Untuk Peradilan Bersih
Kita tidak perlu menunggu MA, KY, Kejaksaan Agung atau KPK untuk membersihkan institusi ini. Kita bisa mulai dari lingkungan terkecil. Ruang kerja. Ruang rapat. Grup WhatsApp. Kita buat budaya baru: budaya malu untuk menyimpang, budaya bangga untuk jujur. Malu untuk terlambat, malu untuk berbohong, sebaliknya kita laporkan jika ada oknum yang tak lagi bisa dibina hingga kita laporkan manakala memperoleh gratifikasi. Kalau kita tidak ambil inisiatif, jangan salahkan publik kalau mereka terus mencaci. Tapi kalau kita berani melawan dari dalam, kita akan jadi tembok terakhir yang menyelamatkan kepercayaan publik dan harga diri profesi ini.
Bangkit. Tegakkan kepala. Kibarkan kembali panji kehormatan peradilan. Lawan korupsi bukan hanya dengan pasal, tapi dengan keteladanan. Jangan hanya menunggu perubahan, jadilah perubahan itu sendiri. Kalau satu palu telah dijual, biarlah itu sebagai pengingat. Terguran keras. Tapi mari kita pastikan seribu palu lain tetap terangkat, bukan untuk menghukum dengan arogan, tapi untuk menegakkan keadilan dengan keberanian dan kehormatan.
Kita bukan sekadar penegak hukum. Kita adalah benteng terakhir keadilan bangsa ini. Jangan gentar. Jangan kompromi. Karena hakim yang takut pada kebenaran, adalah awal dari runtuhnya negara hukum itu sendiri.