Publikasi
Opini

Tuntutan Pidana Mati Kepada Anak: Preseden Buruk Bagi Kepastian Hukum di Indonesia
Beberapa waktu yang lalu, kita dihebohkan dengan kasus beberapa remaja yang masih dibawah umur, melakukan pembunuhan kepada seorang anak perempuan dengan sadis di Palembang. Berdasarkan berita yang beredar, peristiwa tersebut melibatkan 4 (empat) orang remaja laki-laki. Pelaku utama berusia 16 (enam belas) tahun, sementara pelaku lainnya berusia 13 (tiga belas) tahun dan 12 (dua belas) tahun sementara korbannya seorang anak perempuan berusia 13 (tiga belas) tahun. Kejadian mengejutkan ini baru terbongkar saat ditemukan mayat disebuah kuburan cina yang ada di Kota Palembang.
Dari kronologis kejadian, diketahui motif dari para pelaku yang masih dibawah umur ini adalah untuk memperkosa si korban. Hal ini ditenggarai akibat para pelaku yang menonton video porno dan ingin mencari pelampiasannya. Akan tetapi segalanya berjalan diluar kendali hingga akhirnya korban yang masih anak ini terbunuh. Bahkan setelah terbunuh pun, niat para pelaku untuk memperkosa dan mencabuli korban bukan hilang, akan tetapi tetap terlaksana seolah tak mengenal rasa takut setelah peristiwa pembunuhan oleh para pelaku tersebut. Sadis. Mungkin kita sependapat dengan itu.
Tak pelak, peristiwa ini menjadi viral dan mendapat sorotan di masyarakat. Dari proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, beberapa media massa ikut meliput dan memantau jalannya proses penegakan hukum atas peristiwa yang memilukan hati kita ini. Hingga berkas perkara masuk kepersidangan, jalannya persidangan pun tak luput dari sorotan media. Semua ingin tahu, apa yang akan menimpa para pelaku yang masih tergolong anak-anak ini.
Sebagaimana yang telah diuraikan diatas, para pelaku, berdasarkan sistem peradilan pidana kita dikategorikan sebagai anak. Dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), berbunyi “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”. Dengan demikian, dalam perkara ini, para pelaku akan diperiksa dan diadili dipersidangan berdasarkan ketentuan khusus, yakni berdasarkan UU SPPA.
Agenda demi agenda persidangan berjalan dan perlahan fakta-fakta hukum terungkap yang menambah perih hari kita sebagai manusia. Bagaimana anak seusia itu dibunuh, diperkosa dan dicabuli oleh para pelaku yang masih anak yang tidak terlampau jauh beda usianya dengan korban. Wajar, apabila di media sosial, ribuan orang berkomentar untuk menuntut hukuman seberat-beratnya kepada para pelaku. Bahkan beberapa orang menginginkan hukuman mati untuk para pelaku akibat perbuatan sadisnya.
Hingga tibalah hari dimana Penuntut Umum dalam perkara tersebut membacakan tuntutan untuk pelaku utama yang saat kejadian berusia 16 (enam belas) tahun. Tuntutan dibacakan dihadapan Majelis Hakim dalam persidangan yang tertutup untuk umum. Mengapa persidangannya tertutup, karena untuk perkara-perkara yang berkaitan dengan anak, asusila, perceraian, waris proses pemeriksaannya dipersidangan dilaksanakan secara tertutup kecuali saat pembacaan putusan.
Sebagaimana harapan sebagian besar masyarakat, pelaku utama yang berusia 16 (enam belas) tahun tersebut, yang juga dikabarkan merupakan pacar dari anak korban, dituntut oleh Penuntut Umum dalam surat tuntutannya bersalah melakukan pembunuhan terhadap anak korban tersebut dan dihukum dengan hukuman mati.
Terdapat beberapa alasan dan pertimbangan, yang kita ketahui dari pembacaan tuntutan dan keterangan pihak Kejaksaan Negeri Palembang dalam wawancara. Misalnya, Penuntut Umum mempertimbangkan serta memperhatikan keadaan faktual dan serta pertimbangan sosio-psikologis publik agar tidak timbul persepsi bahwa apabila kejahatan dilakukan oleh anak, maka tidak akan mendapat hukuman yang setimpal atau bahkan hukuman yang maksimal sesuai dengan perbuatan si anak pelaku. Kemudian juga Penuntut Umum berpendapat bahwa usia pelaku utama (intellectual darder) pada saat tindak pidana terjadi dalam beberapa hari lagi telah mencapai usia dewasa.
Sehingga Penuntut Umum berpendapat bahwa tindak pidana yang dilakukan pelaku utama yang diduga merupakan pacar dari anak korban tersebut bukan termasuk dalam kategori kenakalan anak-anak, melainkan merupakan kejahatan sebagaimana yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya. Kemudian, pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku utama dinilai sadis dan biadab. Salah satu contohnya dimana para pelaku setelah membunuh anak korban, mereka memperkosa anak korban sebanyak 2 (dua) kali. Terakhir, pihak Kejaksaan Negeri Palembang juga menyerap aspirasi dari masyarakat luas yang mana dari masyarakat sendiri menginginkan pelaku utama dihukum seberat-beratnya atau semaksimal mungkin.
Dalam perkara tersebut, dengan pertimbangan yang diuraikan Penuntut Umum setelah melalui proses persidangan, setidaknya dapat mewakili harapan dari masyarakat luas yang terusik rasa keadilan dan kemanusiaanya akibat dari perbuatan para pelaku. Akan tetapi, secara yuridis, apakah dibenarkan memberikan anak pelaku hukuman mati dalam tuntutan Penuntut Umum?
Dalam sistem peradilan pidana kita, apabila pelaku merupakan anak sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, terkhusus UU SPPA, maka proses pemeriksaannya baik dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan dipersidangan mengacu pada ketentuan dalam UU SPPA, kecuali diatur lain. Tak terkecuali dalam perkara ini, pelaku utama dan 3 (tiga) orang pelaku lainnya disidangkan mengacu pada UU SPPA. Suka tidak suka, begitulah sistem peradilan pidana kita mengatur. Terlebih apabila materi pemeriksaan yang diatur mengenai hukum formil. Mau tidak mau, para penegak hukum berpedoman dan terikat pada hukum acara yang mengaturnya yang dalam perkara ini diatur dalam UU SPPA.
Dalam tuntutannya, pelaku utama dituntut melanggar ketentuan Pasal 76 D jo Pasal 81 Ayat (5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana yang mana ancaman hukuman dalam ketentuan tersebut ialah dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Dengan segala pertimbangan Penuntut Umum, rasanya tidak ada permasalahan apabila Penuntut Umum menuntut hukuman mati kepada anak pelaku utama, karena ancaman hukuman yang diatur terkait perbuatan tersebut memungkinkan untuk dijatuhi hukuman mati.
Akan tetapi, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, bahwa hukum formil atau hukum acara itu adalah aturan yang strict dan kaku. Sehingga suka tidak suka tetaplah harus diikuti.
Bila kita melihat dari sudut pandang pidana materil, pelanggaran terhadap Pasal 76 D jo Pasal 81 Ayat (5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang sebagaimana yang dilakukan oleh anak pelaku utama tersebut dimungkinkan untuk dapat dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi, dalam Pasal 81 Ayat (6) UU SPPA, menyebutkan “Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun”. Maksudnya ialah, dalam perkara ini, anak pelaku utama meskipun dalam sisi materilnya dapat dijatuhi hukuman mati, akan tetapi dari sisi hukum formil atau hukum acaranya terhadap anak pelaku utama hanyalah dapat dihukum atau dipidana dengan pidana penjara maksimal 10 (sepuluh) tahun.
Betul jika dalam Pasal 81 Ayat (6) UU SPPA tersebut menyebutkan “…dijatuhkan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun”, secara implisit ditujukan kepada Hakim atau Majelis Hakim dalam memutus. Bukan ditujukan secara spesifik kepada Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan. Akan tetapi, menjadi pertanyaan kita semua, mengapa Penuntut Umum melakukan penuntutan kepada anak pelaku utama dengan tuntutan hukuman mati, sementara dalam UU SPPA kepada anak pelaku yang diancam pidana mati atau seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun hanya dapat dihukum maksimal penjara selama 10 (sepuluh) tahun? Bukankah Penuntut Umum dalam melakukan pemeriksaan dipersidangan perkara yang berkaitan dengan anak sebagai pelaku juga terikat dengan UU SPPA?
Tentu kita menghargai jalannya proses peradilan dan bagaimana Penuntut Umum menggali fakta dan memberikan pertimbangan terhadap fakta yang didapat dipersidangan. Akan tetapi, dalam perkara a quo, hal demikian akan menimbulkan dampak, baik kepada hukum maupun masyarakat luas. Sebagai contoh adalah dengan menuntut anak pelaku utama dengan hukuman mati sementara dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus dalam perkara ini hal yang demikian tidak dimungkinkan, ditakutkan akan menjadi preseden bagi penegak hukum lain, terutama bagi Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan, baik penuntutan dalam perkara yang berkaitan dengan anak maupun perkara dewasa lainnya.
Dikhawatirkan dalam perkara lainnya itu, Penuntut Umum melakukan penuntutan yang melebihi dari yang diatur dalam hukum pidana materilnya pada ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHPidana, maupun melebihi dari yang diatur dalam hukum pidana formilnya pada ancaman hukuman terhadap acaranya yang diatur dalam KUHAP maupun hukum pidana formil khusus seperti yang diatur dalam UU SPPA dan lainnya.
Selain itu, bagi masyarakat awam yang terbatas mengetahui dan mendapatkan edukasi tentang hukum, akan menimbulkan keragu-raguan dan ketidakpastian hukum sebagaimana doktrin hukum positif yang dianut dalam peradilan pidana di Indonesia. Ditambah lagi, disaat sekarang media massa baik konvensional dan digital begitu massif memberitakan suatu issue. Dengan ketidakpastian hukum yang terjadi dalam proses persidangan akan menjadikan citra negatif bagi seluruh aparat penegak hukum sehingga menimbulkan penilaian buruk atas konsistensi penegak hukum dalam menegakkan aturan hukum positif yang berlaku di negara kita.
Hendaknya kejadian ini menjadi evaluasi bagi penegak hukum untuk taat dalam menegakkan hukum acara pidana sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Karena, kepastian merupakan salah satu unsur dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum itu sendiri selain keadilan dan kemanfaatan.